Ekspedisi Dataran Tinggi Palembang

Tentara Belanda di Goenoeng Maraksa

Ekspedisi Dataran Tinggi Palembang adalah ekspedisi militer oleh Koninklijk Nederlands-Indische Leger ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang di Sumatera Selatan (1851–1859) Untuk menaklukan sisa-sisa pengikut setia Kesultanan Palembang.

Setelah menaklukan Kesultanan Palembang pada Tahun 1821, Belanda mengirim ekspedisi-ekspedisi tentaranya ke pedalaman, dalam rangka menanamkan dan memperluas kekuasaan setelah Sultan Palembang menyerah. Setelah dapat memadamkan perlawanan-perlawanan di daerah Lematang, dan setelah bermingu-minggu lamanya serta menderita korban yang besar dapat menguasai benteng di dusun-dusun, ekspedisi Belanda bergerak ke daerah Kikim. Disinipun belanda mendapat hambatan perlawanan yang kuat, akhirnya setelah daerah Kikim dapat mereka amankan, dan setelah dapat tambahan tenaga-tenaga baru dari Palembang, Belanda dapat maju dan mendirikan benteng di Tebing Tinggi. Tebing Tinggi pada waktu itu adalah kota kecil yang sangat strategis sekali bagi Belanda. Dari Tebing Tinggi dapat bergerak kearah Lubuk Linggau, Rawas, juga ke daerah Lintang 4 Lawang untuk seterusnya dapat menuju Tanah Pasemah. Kalau di daerah-daerah lain belanda mendirikan kampemen-kampemen ( benteng-benteng ) dari kayu-kayu, tapi di Tebing Tinggi kampemen mereka, berupa bangunan-bangunan yang permanen dengan dikelilingi parit-parit yang dalam. Dengan berpusat di Tebing Tinggi inilah belanda hendak menaklukan Ampat Lawang. Kekuatan penentang belanda ini berpusat di Gunung Meraksa. Dusun Gunung Meraksa yang diapit oleh sungai Lintang Kiri dan sungai Lintang Kanan berada di ketinggian yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal. Dibelakang tebing-tebing ini terdapat pula hutan aur duri ( bambu berduri ) yang tumbuh berlapis-lapis. Hanya penduduk dusun saja yang tahu dan dapat melalui jalan setapak yang berliku-liku untuk bisa keluar dari dusun untuk berpergian ke tempat lain. Maka tidak heran dalam ekspedisi pertama Belanda pada Tahun 1845 gagal merebut benteng Gunung Meraksa. Mereka terpaksa kembali ke Tebing Tinggi dengan menderita korban yang besar. Malahan sewaktu mereka mudur melalui jalan dipinggir Sungai Musi masih juga ditempat-tempat tertentu mendapat serangan-serangan. Pada bulan Juli Tahun 1851 kembali belanda melancarkan serangan yang kedua, dilakukan dengan kekuatan yang lebih besar dipimpin Letnan Kolonel de Brauw. Letnan Kolonel de Brauw ini terkenal sebagai penakluk daerah Banten, yang menurut belanda sebagai pahlawan Djagaraga dan sengaja didatangkan ke Palembang, untuk menundukan daerah Lintang 4 Lawang. Tentara Belanda yang berpengalaman dalam perang Jati ditarik dari Lahat dan digabung dengan tentara yang sudah di Tebing Tinggi. Belanda berpendapat, karena Benteng Jati ada persamaan dengan Benteng Gunung Meraksa, yaitu diperkuat dengan parit-parit perlindungan serta dikelilingi dengan aur duri berlapis-lapis yang sukar ditembus. Pengalaman Belanda dalam perang Jati, ialah menggunakan meriam-meriam dengan peluru-peluru api yang dapat membakar kampung-kampung. Meriam-meriam inilah dengan prajurit-prajurit yang berpengalaman dikumpulkan dalam persiapan menaklukan daerah 4 Lawang dengan Gunung Meraksa sebagai pusatnya.

Mereka bergerak dengan kekuatan lima perwira, 260 prajurit invanteri 4 buah mortir, 8 meriam dibantu satu armada lima ratus orang kuli paksa orang Indonesia sebagai pembawa barang-barang. Berangkat dari Tebing Tinggi dengan menyusuri pinggir sungai ke hulu Musi rombongan tentara Belanda menuju ke dusun Ulak Mengkudu sejauh 16 km dari Tebing Tinggi . Mereka berhenti di Desa ini untuk membuat jembatan dari bambo guna dapat menyeberangan tentara dengan alat-alatnya yang begitu banyak. Selain persenjataan berupa meriam-meriam, pelor-pelor, juga beras-beras dan sebagainya, perlengkapan memasak dan lain-lain pun banyak sekali. Perhitungan mereka ekspedisi ini akan memakan waktu kira –kira selama tiga bulan. Pantas saja barang-barang yang dibawa begitu banyak. Memang tersedia bambu-bambu banyak sekali di daerah itu, sehingga dalam tiga hari saja penyeberangan dapat mereka lakukan dengan berhasil baik . Dengan menempuh perjalanan yang berat berupa medan yang berbukit-bukit yang tinggi , tebing-tebing yang terjal serta lembah yang dalam-dalam dan hutan yang lebat, selama empat hari, tentara Belanda ini dapat tiba di tujuan. Pada ekspedisi mereka yang pertama kali dahulu, mereka serang Gunung Meraksa secara frontal dan tidak menghasilkan apa-apa, malahan menderita kekalahan. Mereka mengerahkan kuli-kuli mencoba menembus pertahanan aur duri dengan memotong batang-batang bambu yang sangat keras dan sangat padat dengan parang-parang. Di belakang kuli-kuli, tentara Belanda melindungi mereka. Mula-mula ada kemajuan dengan dapat memotong dan merobohkan rumpun demi rumpun bambu, tapi pekerjaa ini sia-sia belaka. Pisau atau parang yang dipakai cepat sekali menjadi tumpul, penyerangan menjadi lamban dan pejuang-pejuang yang tak terlihat dari benteng dapat lelasa menembaki tentara Belanda yang mengawal, dan menimbulkan korban di pihak Belanda. Akhirnya setelah berusaha selama beberapa hari dengan cara usaha ini dihentikan. Selama dua minggu mereka berusaha menaklukan benteng, dan tidak memberikan hasil. Pada hari ke-enam belas mereka meninggalkan medan pertempuran dan kembali ke Tebing Tinggi. Dengan pengalaman penyerangan pertama yang gagal, mereka lalu memakai strategi yang telah memberikan hasil seperti di perang Jati. Mereka kepung benteng Gunung Meraksa dengan rapat sehingga tidak ada yang dapat masuk atau keluar. Pengepungan ini dapat mereka lakukan karena jumlah anggota tentara yang cukup banyak. Sementara pengepungan, meriam-meriam mereka terus menembaki dusun dengan peluru-peluru api. Memang terjadi kebakaran- kebakaran, tapi tetap benteng tidak menyerah. Kuli-kuli yang tidak bertugas, mereka kerahkan untuk terus memotong bambu-bambu pertahanan. Rencana Belanda adalah hendak memaksa benteng menyerah karena kekurangan makan dan air. Kebutuhan air untuk benteng sebelum dikepung, merejka ambil dari sungai yang berada di luar, di ayiek Lintang. Karena tak sabar, Belanda beberapa kali menyerbu serentak, dari berbagai penjuru benteng, namun dapat dipukul mundur dengan korban besar. Kuli-kuli yang dengan rasa takut dipaksa memotong bambu-bambu berduri banyak yang tewas kena tembak dari tempat-tempat tersembunyi. Yang kena ranjaupun banyak. Akhirnya Belanda menyadari hanya dengan cara membuat penduduk kelaparan dan kekurangan air, yang memaksa benteng untuk menyerah. Memang di dalam benteng sendiri persediaan bahan makanan sudah sangat menipis setelah mengepungan berjalan hampir satu bulan. Beras tinggal sedikit, sapi tinggal beberapa ekor, dan mendatangkan dari luar benteng sungguh tak mungkin karena semua jalan keluar tertutup rapat oleh Belanda. Akhirnya benteng menyerah dan Belanda mematuhi syarat untuk tidak membakar desa Gunung Meraksa, seperti yang biasa meraka lakukan di tempat-tempat lain. Perlawanan / Perang Gunung Merakso ini dipimpin oleh Radja Tiang Alam (Masiun) bin Jemuddin bin Ali Hanafiah bin Zainuddin. yang mati matian berperang dengan belanda. Cerito ini ditulis dalam laporan Expedisi Belanda ke Palembang (Gunung Merakso) 1812-1889, Laporan itu ditujukan kepada Ratu Belanda. Disitu dengan jelas dituliskan ada dua perang hebat yg banyak menghabiskan tentara dan logistik Belanda, perang dalam menumpas Sultan Palembang. dan perang dalam menumpas Radja Tiang Alam Gunung Meraksa. Tahun 1856 Gunung meraksa ditaklukkan Belanda, Radja Tiang Alam ditangkap. dibawa ke Palembang lalu di adili di Batavia, dan Tahun 1858 Radja Tiang Alam diasingkan ke Salatiga, Jawa Tengah.

Sementara itu , Menke de Groot menuliskan kisah mengenai ekspedisi ke Palembangs Bovenlanden (Pedalaman Palembang/Goenoeng Merakso ) merupakan ekspedisi hukuman dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda ke Palembang di Sumatra (1851-1859) untuk menghilangkan gangguan di pedalaman Palembang, bahkan setelah ekspedisi ke Palembang pada 1819 dan 1921 masih selalu ada ketegangan di pedalaman Palembang. Salah satu kesalahan Pemerintah Hindia Belanda adalah pemerintah gagal menghormati otoritasnya, tetapi membiarkan penduduk yang cinta damai dirampok oleh kelompok –kelompok militan dari tempat lain, tanpa menghukum yang bersalah. Hasilnya adalah bahwa penduduk tidak hanya kehilangan kepercayaan pada kekuatan pemerintah, tetapi juga ada penduduk yang bergabung dengan negara-negara perampok untuk mendapatkan bagian dari hasil curian dan perampokan. Pada tahun 1828 Kranga Wira Lentika, kepala Lematang, telah dibalas dendam oleh para orang-orang Pasemah; orang-orang ini melintasi perbatasan dan bahkan mendekati kota Palembang. Pada tahun 1830 sebuah pemberontakan pecah di Lobo-Poeding sebagai akibat dari peningkatan harga sewa tanah. Pada 1835 pasukan Belanda kepung di Kaban selama lebih dari 40 hari; berulang kali permusuhan terjadi di mana-mana di wilayah-wilayah ini; pada tahun 1841 dan pada tahun 1842 malah beberapa tentara Eropa dibunuh dan akhirnya pos Belanda diserang di Moeara-Klingie; namun tidak satu pun dari para pelaku gangguan ini dihukum sehingga tidak ada rasa hormat sedikit pun terhadap pemerintah dan tindakan orang jahat ini meningkat ketika pemerintah menunjukkan ketidakberdayaan yang lebih besar. Gubernur Palembang, pangerang Krawa Djaje, memicu kerusuhan lebih jauh. Alih-alih bertindak dalam semangat pemerintah, penduduk semakin ditekan oleh dia, sehingga pajak tanah menjadi beban penduduk, jauh lebih besar daripada pajak yang sebelumnya dikenakan oleh sultan. Dia tahu begitu banyak pengaruh sehingga dia bisa memicu pemberontak rakyat setiap saat, yang sangat membenci pemerintah sehingga perlu bertindak dengan paksa melalui pemerintah. Ekspedisi Populasi Ampat Lawang, bagian dari asisten residensi Tebing-Tinggi, residensi Palembang, berulang kali terjadi pemberontak dan semangat perlawanan telah menjadi begitu luas bahwa pada tahun 1850 .Bukan permusuhan dari penaklukan menang. Ketika Letnan Kolonel De Brauw ke komandan penduduk dan sipil-militer dari Palembang ditunjuk ia mendengar bahwa pajak tanah tidak diterapkan, akibatnya komandan divisi Goenong-Maraksa tersinggung dan lagi beberapa tentara tewas oleh penduduk Lintang-Kiri . De Brauw melakukan upaya untuk menundukkan Tiang-Alam, tetapi penduduk telah memperkuat diri di Oedjong-Ali; komandan, di bawah komando Kapten C. Meijer, sekarang diperintahkan untuk maju ke Oedjong-Ali. Sepanjang jalan ada pertempuran terus-menerus dengan para pemberontak dan dengan Goenong-Maraksa pasukan itu ditunggu oleh seribu musuh bersenjata berat. Walaupun berhasil melarikan diri dari musuh, tetapi karena kurangnya pasukan di daerah yang memberontak, mereka tidak dapat melakukan apa-apa kecuali mundur ke Tebing-Tinggi. Sebuah ekspedisi harus dikirim ke Ampat-Lawang sekarang karena di sana juga dan di Lematang-Ulau ada pemberontakan; Gubernur sekarang dipecat dan dipindahkan ke Batavia, tetapi masih diperlukan ekspedisi baru. Lematang Ulu bukan satu-satunya kabupaten yang memberontak, bahkan di Kikim, Moesie-Uluw dan Ampat-Lawang, dan tidak kurang dari 20 marga yang mengancam melakukan pemberontakan. Sekarang ada perkelahian tajam yang mengarah pada hasil yang diinginkan: ketika Residen meninggalkan Brauw, Palembang, Tebing-Tinggi, Labat, dan Moeara-Klingie dikelilingi oleh musuh dan terputus dari luar oleh benturan komunikasi; 26 distrik mengalami pemberontakan total dan para pemberontak muncul di dekat ibu kota; Setelah tindakan ofensif pemerintah, orang-orang telah maju sejauh ini sehingga kontak antara benteng-benteng telah saling dipulihkan, para pemberontak dipukul mundur ke mana-mana dan penduduk di Ampat-Lawang mulai kembali ke wilayahnya. Sementara itu, di garnisun Tebing-Tinggi, penyakit menular menjadi wabah yang menelan korban 150 orang dan itu perlu untuk mengirim pasukan baru. Pada awal 1852 ekspedisi yang sebenarnya ke Ampat-Lawang akan berlangsung. Sebelum permulaan tahun 1853 semua pemberontak menjadi sasaran; di tahun-tahun berikutnya, pemberontakan kecil akan terus-menerus harus dibendung, dan hingga 1859, pasukan harus dikirim beberapa kali untuk menekan pemberontakan yang membara.

Referensi

Sumber

  • 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn
  • 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816–1900. M.M. Cuvee, Den Haag.'
  • 1876. A.J.A. Gerlach. Nederlandse heldenfeiten in Oost Indë. Drie delen. Gebroeders Belinfante, Den Haag.