Filsafat fisika


Filsafat fisika adalah interdisiplin ilmu yang mengkaji ilmu fisika berdasarkan interpretasinya secara konseptual terhadap materi atau(dan) gelombang, ruang dan waktu, serta realitas. Meskipun saat ini kajian filsafat fisika menitikberatkan bahasannya pada ilmu fisika modern, atau yang telah jauh berkembang seperti mekanika kuantum, kosmologi dan mekanika statistik, fisika klasik, tidak dapat dipungkiri telah menjadi batu loncatan bagaimana para ilmuwan dan filsuf modern mendekripsikan realitas serta segala entitas yang ada di dalamnya.

Alasan mengapa ditinggalkannya pandangan klasik dalam kajian filsafat fisika, adalah sifat ilmu fisika yang sangat bergantung kepada hasil pengamatan dan eksperimen. Suatu teori fisika akan ditinggalkan saat ada pengamatan atau eksperimen yang mengindikasikan suatu hasil yang berbeda sehingga dibutuhkan teori baru sebagai penjelasan. Untuk bahasan yang cenderung aplikatif, hal ini tidak begitu berpengaruh ; hukum gerak Newton masih umum digunakan dalam bidang keteknikan ataupun kehidupan sehari-hari, tetapi untuk kajian yang lebih mendalam secara konseptual, teori relativitas Einstein akan memberikan sudut pandang baru terhadap ruang, waktu serta materi,[1] dan tentunya cocok terhadap hasil pengamatan dan eksperimen.

Filsafat fisika memberikan perhatian terhadap seluruh aspek fisis dari realitas. Aspek ini berupa aspek spasial (berkaitan dengan ruang) dan aspek temporal (berkaitan dengan waktu), sehingga dalam filsafat fisika, eksistensi dan sifat alami dari ruang-waktu menjadi bahasan utama.[2] Selain itu materi juga menjadi bahasan penting, karena dunia yang dapat kita lihat dan rasakan tersusun dari "tak hingga" materi. Namun materi dalam bahasan filsafat fisika tidak hanya yang memiliki wujud fisis, medan dan gelombang contohnya termasuk dalam bahasan,[2] karena medan dan gelombang merupakan penyusun dari entitas berwujud fisis dalam realitas.

Sejarah awal filsafat fisika

Permulaan, dan peradaban Yunani kuno

Manusia sejak awal kemunculannya merupakan makhluk hidup dengan rasa penasaran yang tinggi terhadap fenomena alam yang terjadi di sekelilingnya, seperti: seperti terbit tenggelamnya matahari, kemunculan gerhana, pergantian musim, pola yang dibentuk rasi bintang dan lain-lain.[3] Pengamatan terhadap suatu fenomena alam yang terjadi dapat memudahkan aktivitas manusia sendiri. Seperti memilih waktu untuk bercocok tanam yang tepat, navigasi pelayaran, migrasi hewan buruan dan masih banyak lagi. Dengan segala keterbatasannya pada zaman tersebut manusia mencoba menjelaskan mengapa fenomena tersebut terjadi. Penjelasan yang berkaitan dengan hal-hal mistis pun bermunculan. Seperti pada zaman Yunani kuno misalnya, fenomena alam seperti petir dikaitkan dengan Zeus sang dewa petir.[3]

Penjelasan yang berkaitan dengan hal-hal mistis mudah diterima oleh kalangan awam, tetapi hampir tidak memiliki aspek aplikatif terkecuali mengandalkan kebetulan. Sains secara umum menawarkan penjelasan rasional terhadap keteraturan alam semesta.[3] Pun, perkembangan ilmu pengetahuan pada peradaban manusia terjadi tidak secara serempak, misalnya suku Maya di Meksiko telah mengembangkan pengertian angka desimal dan nol (0) sebelum banga Eropa mengenalnya.[4] Pencarian penjelasan rasional terhadap fenomena alam di eropa dimulai pada abad ke-6 SM. Diperakarsai filsuf-filsuf Yunani seperti Pythagoras dengan teorema geometri dan teori musiknya,[5][6] atau Leucippus (~440 SM.), Democritus (~420 SM.) dan Epicurus (342-270 SM.) yang mengemukakan hipotesis bahwa setiap materi tersusun dari atom yang tidak dapat terbagi lagi.[3][7] Aristoteles (~384 - 322 SM) dan Empedocles (~490-430 SM) mengemukakan lima elemen penyusun yakni: air, api, udara, tanah dan aether.[8][9] Aristoteles juga mengemukakan hipotesis tentang gerak dan bumi sebagai pusat alam semesta[10]

Zaman pertengahan

Gambar Al-Biruni pada perangko Uni Soviet (1973)

Pada awal zaman pertengahan, ilmu pengetahuan secara umum termasuk fisika dan kajian filsafatnya mengalami perlambatan perkembangan di Eropa[11] alih-alih sains mencapai kejayaanya diluar eropa yakni pada zaman keemasan Islam di Timur Tengah.[12][13] Filsuf sekaligus ilmuwan terkemuka Islam banyak bermunculan pada periode ini seperti diantaranya: Ibnu Sina, Omar Khayyam, Abū Rayḥān al-Bīrūnī, Al-Farabi dan lain-lain. Ibnu Sina misalnya menentang gagasan tentang gerak yang diajukan oleh Aristoteles ; menurut Aristoteles keadaan alami benda adalah diam, sehingga benda yang bergerak akan menjadi diam pada suatu saat, sementara Ibnu Sina percaya benda yang bergerak menjadi diam akibat adanya suatu agen eksternal yang melawan gerak benda seperti gesekan udara.[14][15] Sementara itu Abū Rayḥān al-Bīrūnī menyatakan bahwa perubahan gerak diakibatkan oleh percepatan atau perlambatan.[16] Abu'l-Barakāt al-Baghdādī Diarsipkan 2022-05-17 di Wayback Machine. menentang teori Aristoteles yang menyatakan bahwa gaya mengakibatkan gerakan dengan kecepatan konstan. Al-Baghdādī memandang bahwa kecepatan dan percepatan adalah yang berbeda, dan besar suatu gaya berbanding lurus terhadap besar percepatan yang dihasilkan alih-alih terhadap kecepatan.[17]

Zaman Renaisans dan pengembangan metode ilmiah

Zaman ini dipandang sebagai kelahiran kembali (renaisans) dari ilmu pengetahuan serta kajiannya di Eropa.[3] Penemuan kembali literatur pembelajaran sains yang dikembangkan oleh peradaban Islam dan Yunani kuno mempengaruhi masyarakat Eropa pada masanya, sekaligus menjadi fondasi dari perkembangan sains pada masa renaisans di Eropa.[18] Melalui teori heliosentris, Copernicus mendobrak pemikiran masyarakat tentang pertanyaan akan eksistensi manusia di alam semesta. Sebelumnya pada model Ptolemaeus, bumi dan manusia ditempatkan spesial yang mana menjadi pusat dari alam semesta itu sendiri.[19] Pada model Copernicus, bumi merupakan bagian dari tujuh planet yang telah diketahui yang mengelilingi matahari dengan lintasan berbentuk lingkaran. Meskipun mendapat penolakan[20][21] gagasan dari Copernicus menginspirasi ilmuwan-ilmuwan pada masanya seperti Tycho Brahe dan Johaness Kepler untuk melakukan observasi dan perhitungan lebih lanjut. Nantinya, Kepler akan menemukan bahwa lintasan planet berbentuk elips alih-alih berbentuk lingkaran.[22] Karya Copernicus juga dianggap sebagai tonggak lahirnya revolusi ilmiah di Eropa.[23]

Selain Copernicus, Galileo Galilei juga merupakan tokoh penting dari revolusi ilmiah. Galileo menekankan pentingnya matematika dalam pengkajian suatu fenomena alam.[24] Galileo juga menciptakan teleskop dengan 30x pembesaran yang mana akan menjadi instrumen utama dalam pengamatan satelit atau bulan Jupiter.[25][26] Pengamatan bulan Jupiter oleh galileo mengakibatkan revolusi di bidang astronomi. Pendapat lama dimana bumi sebagai pusat alam semesta dimana seluruh benda-benda langit mengelilingi bumi mulai diragukan akibat ada benda langit (yaitu bulan Jupiter) yang pusat revolusinya tidak terhadap bumi.[27] Galileo berkontribusi pada mekanika dengan percobaan geraknya dan menyimpulkan bahwa massa tidak mempengaruhi kecepatan benda seperti pendapat lama Aristoteles. Serta tanpa suatu gaya hambat, suatu benda akan terus menerus bergerak lurus. Kemudian hasil percobaan Galileo dikembangkan dan dirumuskan secara matematis oleh Isaac Newton dalam hukum Geraknya. Hasil pengamatan Galileo dan Kepler tentang benda langit dijelaskan oleh Isaac Newton dengan hukum gravitasinya. Newton juga kemudian memberikan pandangan tentang konsep ruang dan waktu mutlak.[28]

Perbedaan teori heliosentris Copernicus (kiri) dan geosentris (kanan) saat menjelaskan gerak dari planet Mars terhadap Bumi (lintasan merah).

Filsafat ruang (dan) waktu

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ruang dan waktu merupakan bahasan sentral dalam filsafat fisika. Pembahasan ruang dan waktu pun terus berkembang dari masa ke masa. Mulai dari kajian yang bersifat metafisika hingga yang dibahas langsung secara matematis dan empiris.

Descartes

Menurut Rene Descartes ruang dan materi adalah suatu kesatuan dan tak terbatas adanya. Ukuran dan bentuk merupakan persyaratan utama bagaimana suatu materi didefinisikan atau dibayangkan. Sehingga ruang merupakan implikasi dari aspek spasial yang dimiliki oleh materi. Implikasi langsung dari pendapat Descartes adalah tidak akan mungkin terdapat suatu ruang yang vakum, karena vakum tidak memiliki dimensi atau aspek spasial. Jika setiap daerah dari ruang merupakan perwujudan aspek spasial dari materi, maka tanpa materi tidak akan ada ruang.[1] Untuk menjelaskan gerakan suatu benda, Descartes berpendapat bahwa tidak terdapat ruang mutlak ; artinya jika suatu materi bergerak atau berpindah maka seluruh ruang yang dibentuk oleh materi lainnya akan bergerak relatif terhadap materi tersebut sebagi kompensasi dari perpindahannya.[29] Hukum gerak Descartes dapat dirumuskan menjadi tiga poin sebagai berikut:[30]

  1. Suatu benda akan tetap diam atau bergerak dengan kecepatan konstan terkecuali mendapat tarikan atau dorongan.
  2. Lintasan gerak benda tanpa gangguan berupa garis lurus.
  3. Momentum dari suatu benda berbanding lurus dengan ukuran dan kecepatannya.

Newton

Berlawanan dengan René Descartes, Isaac Newton berpendapat bahwa ruang vakum, waktu mutlak dan ruang mutlak merupakan suatu entitas yang nyata di alam semesta. Ruang mutlak menurut Newton selalu sama dan tidak bisa dipindahkan.[31] Begitu pula dengan waktu ; menurut Newton waktu berjalan sama (mutlak) disetiap titik di alam semesta dan tidak dipengaruhi aspek fisis eksternal (gaya, masa, kecepatan dan lain-lain).[31] Newton juga menyatakan bahwa posisi yang ditempati suatu benda adalah suatu besaran dalam ruang yang ditempatinya alih-alih menurut Descartes, ruang merupakan implikasi dari aspek spasial benda. Karakterisasi dari ruang dan waktu menurut Newton dapat dibagi dalam tiga bagian sebagai berikut:[28]

  1. Ruang dan waktu mutlak adalah suatu entitas yang berbeda dengan materi dan keadaanya tidak bergantung pada materi atau benda apapun.
  2. Gerak mutlak dari suatu benda ada dan dapat ditentukan besaran sejati(mutlak)nya.
  3. Gerak mutlak dari suatu benda tidak dapat didefinisikan atau ditentukan besarannya berdasarkan gerak relatifnya (gerakannya terhadap kerangka acuan inersia).

Ruang mutlak menurut Newton dapat dibuktikan menggunakan percobaan ember berisi air yang dirotasikan terhadap suatu titik. Setiap titik di alam semesta dapat melihat gerakan dari ember berisi air ini karena kecekungan permukaan air saat berotasi. Ini adalah contoh dari gerak mutlak terhadap kerangka acuan mutlak menurut newton.

Selain gerak mutlak, Newton juga mendefinisikan gerak relatif, yakni gerakan suatu benda relatif terhadap suatu kerangka acuan Inersia. Kerangka acuan inersia atau kerangka acuan relatif yang dimaksud adalah kerangka acuan yang diam atau bergerak dengan kecepatan konstan dan kerangka acuan ini berada di dalam kerangka acuan mutlak Newton. Pada kerangka acuan ini berlaku hukum gerak Newton. Selain itu yang hal lainnya yang membedakan konsep Newton dan Descartes adalah pandangannya terhadap momentum, Newton berpendapat bahwa momentum dari suatu benda hanya bergantung dan berbanding lurus dengan kecepatan dan massanya.[32]

Leibniz

Gotffried von Leibniz menentang Newton dengan menyatakan bahwa ruang sepenuhnya adalah entitas yang relatif terhadap kerangka acuan.[33] Leibniz juga mengemukakan teori gerak baru yang menghubungkan gerak suatu benda dengan energi kinetik dan potensial yang dimilikinya.[2] Selain konsep ruang yang relatif, Leibniz dalam korespondensinya dengan Samuel Clarke juga menganggap waktu merupakan konsep yang relatif.[34][35]

Relativitas Einstein

Albert Einstein pada tahun 1921

Dalam konsep fisika klasik, dipercaya bahwa gelombang cahaya atau elektromagnetik merambat melalui suatu zat yang dinamakan ether,[36] zat ini dipercaya juga bersifat elastis dan memenuhi ruang alam semesta. Albert Michelson selama enam tahun dari tahun 1881 hingga 1887, dengan instrumen percobaanya mencoba menemukan ether namun selalu gagal.[37][38] Sementara beberapa ilmuwan juga telah mulai skeptis dengan konsep ruang dan waktu mutlak yang dikemukakan oleh Newton.[39][40][41] Kemudian pada tanggal 26 September 1905, Albert Einstein mempublikasikan karyanya tentang relativitas khusus. Dalam naskahnya, Einstein berargumen bahwa aether tidak harus ada jika kita meninggalkan konsep ruang dan waktu mutlak Newton. Basis yang mendasari relativitas khusus einstein adalah dua postulat sebagai berikut:[42]

  1. Hukum fisika berlaku sama di setiap kerangka acuan inersial, dan tidak ada pengukuran fisis yang dapat menyatakan besaran suatu gerakan mutlak terhadap kerangka acuan inersial.
  2. Kecepatan cahaya adalah konstan terhadap semua pengamat dalam kerangka acuan Inersia.

Implikasi dari kedua postulat Einstein ini ialah hal yang tak lazim pada masanya seperti dilatasi waktu, kontraksi panjang dan pertambahan masa relativistik.[43] Kemudian dilanjutkan dengan relativitas umum Einstein menunjukan bahwa percepatan akibat medan gravitasi sama halnya dengan percepatan pada kerangka inersia yang dipercepat, yang mana akan berimplikasi terhadap pelengkungan lintasan cahaya dan perlambatan waktu pada suatu ruang dengan medan gravitasi tertentu.[42]

Teori relativitas umum Einstein membahas bahwa ruang-waktu dapat dilengkungkan dan pada kasus khusus berimplikasi pada dimungkinkannya perjalanan antar waktu.[42] Namun banyak ilmuwan berpendapat bahwa perjalanan antar waktu yang mungkin hanyalah ke masa depan karena perjalanan ke masa lalu akan bertentangan dengan prinsip kausalitas.[44] Seperti contoh paradoks yang muncul saat seseorang kembali ke masa lalu dan membunuh leluhurnya.

Filsafat dalam mekanika kuantum

Mekanika kuantum merupakan fondasi dari fisika modern dan perkembangan teknologi digital. Interpretasi konseptual dari mekanika kuantum bertentangan dengan fisika klasik. Energi partikel yang terkuantisasi serta dualisme partikel-gelombang merupakan konsep yang tidak dikenal dalam fisika klasik, sehingga memberikan gambaran baru bagaimana alam semesta bekerja.

Keterikatan, aspek tak terlokalisasi dari partikel

Posisi dari elektron pada atom Hidrogen yang digambarkan sebagai probabilitas dalam fungsi gelombang.

Keterikatan dalam mekanika kuantum didefinisikan sebagai suatu fenomena yang terjadi antar partikel atau sekelompok partikel, dimana antar partikel tersebut saling mempengaruhi keadaan kuantum satu sama lain walaupun terpisah secara spasial( misalkan milyaran kilometer ) dan tidak ada interaksi fisis apapun yang terjadi antar partikel.[45] Interpretasi dari keterikatan kuantum sering kali disalah artikan sebagai pengiriman informasi antar partikel secara instan (melebihi kecepatan cahaya). Keterikatan kuantum bergantung pada dua sifat dasar yang dimiliki materi yaitu nonlocality (tak terlokalisasi) dan nonseparability (tak terpisah).[46] Sifat tak terlokalisasi merupakan sifat gelombang yang dimiliki oleh suatu partikel. Dalam bahasan klasik, partikel merupakan entitas yang terlokalisasi yaitu memiliki kepastian posisi tiap satuan waktu, tetapi pengamatan pada partikel elementer seperti elektron mengindikasikan bahwa partikel pada dasarnya tidak terlokalisasi ; elektron dapat berada dimanapun dalam suatu wilayah tiap satuan waktu dan posisinya tidak dapat dihitung secara pasti, melainkan dalam bentuk probabilitas yang didefinisikan dalam suatu fungsi gelombang.[47]

Sementara itu sifat non-separability, menyatakan fungsi gelombang dari sistem yang terdiri dari dua partikel tidak dapat dipisahkan. Artinya kedua partikel walaupun telah dikatakan "terpisah" sebenarnya kedua partikel tersebut tidak pernah betul-betul terpisah dan tetap saling mempengaruhi hingga dilakukannya pengukuran untuk mengukur posisi tiap partikel.[48][49][50] Sifat keterikatan partikel memunculkan pertanyaan metafisika tentang hubungan antara materi di seluruh alam semesta.[45]

Masalah ketidakpastian dalam pengukuran

Dalam mekanika kuantum dikenal prinsip ketidakpastian. Prinsip ini menyatakan jika makin teliti suatu posisi suatu benda dapat diketahui atau diukur, maka momentumnya akan semakin tidak pasti, begitu pula sebaliknya. Fenomena ini sering disalah artikan[51][52] dengan keterbatasan instrumen pengukur yang mempengaruhi hasil pengukuran, alih-alih ketidakpastian dalam mekanika kuantum merupakan aspek intrinsik partikel yang selama ini dalam pandangan klasik dapat ditentukan posisi dan kecepatannya dengan pasti.[53][54] Ketidakpastian dalam mekanika kuantum sering kali dipertentangkan dengan konsep determinisme dalam filsafat.[55]

Filsafat dalam termodinamika dan mekanika statistika

Termodinamika adalah cabang dari fisika yang mempelajari energi dan kerja pada (dari) suatu sistem.[56] Sementara mekanika statistika mempelajari "sifat" atau karakteristik rata-rata dari suatu sistem menggunakan teori probabilitas.[57][58] Termodinamika mempunyai hubungan langsung terhadap mekanika statistika karena mekanika statistika memberikan gambaran akan pergerakan materi atau partikel dalam sistem akibat energi dan kerja yang diberikan atau diambil. Termodinamika dan mekanika statistika erat kaitannya dengan entropi atau derajat kekacauan dari suatu sistem. Entropi memberikan intrepertasi matematis dari "keteraturan" di alam semesta. Selain itu mekanika statistika memberikan pandangan dalam tidak simetrisnya waktu dari suatu proses fisis (Irreversibilitas).[57]

Irreversibilitas

Stephen Hawking (1980), dikenal memberikan banyak kontribusi terhadap kosmologi modern.

Prinsip termodinamika mengharuskan bahwa dunia yang didalamnya terjadi suatu proses fisis asimetris terhadap waktu. Contoh: suatu vas bunga terbuat dari keramik jatuh ke lantai dan kemudian pecah, proses sebaliknya, yakni pecahan keramik yang membentuk vas bunga dan kembali ke atas tidak akan pernah terjadi meskipun energi yang dibutuhkan untuk kedua proses sama besar. Implikasi langsung dari irreversibilitas adalah waktu yang mempunyai arah.[59] Proses irreversibel harus disertai bertambahnya entropi pada suatu sistem dan entropi semesta tidak pernah menurun.[60] Sehingga arah dari waktu mengikuti proses ini ; yakni alam semesta dulunya harus lebih teratur dari saat ini dan secara fisika akan lebih kacau di masa depan (entropinya bertambah).

Filsafat kosmologi

Kosmologi merupakan suatu ilmu yang berurusan dengan alam semesta pada skala yang besar.[61] Kosmologi berkaitan dengan bentuk serta proses terjadinya alam semesta itu sendiri. Teori kosmologi terus berkembang dari zaman ke zaman mulai dari teori geosentris Ptolemaeus, hingga model standar yang mencangkup teori ledakan besar. Teori kosmologi erat kaitannya dengan aspek metafisika dalam bahasan filsafat, tetapi seiring perkembangan teknologi dan melimpahnya data pengamatan, kosmologi saat ini sepenuhnya masuk dalam kajian ilmu alam atau sains.[61]

Asal mula alam semesta

Menurut masyarakat Boshongo di Afrika Tengah, pada masa permulaan terciptanya alam semesta hanya terdapat kegelapan, air, dan dewa Bumba yang agung. Pada suatu hari, Bumba mengalami sakit perut dan memuntahkan Matahari, pulau-pulau, bulan, bintang, dan segala jenis binatang termasuk manusia.[62] Sementara menurut uskup Ussher, penciptaan alam semesta terjadi 4004 tahun sebelum masehi.[62][63] Tidak semua orang setuju bahwa alam semesta memiliki suatu awal. Aristoteles misalnya menganggap bahwa alam semesta telah ada dari waktu yang lampau, dan akan terus ada sampai waktu tak hingga.[62][64]

Kosmologi modern berbasis pada teori sains dan data hasil pengamatan. Pengamatan Edwin Hubble yang kemudian dipadukan dengan teori relativitas umum mengindikasikan bahwa alam semesta itu terbatas dan memiliki awal. Kesimpulan ini dirangkum dalam teori ledakan besar yang menyatakan bahwa pada awalnya yaitu 13,8 miliar tahun lalu, alam semesta merupakan suatu titik dengan kerapatan yang sangat tinggi dan kemudian meledak atau berkespansi hingga seperti sekarang. Hingga saat ini teori ledakan besar masih konsisten dengan pengamatan.[65][66]

Baca juga

Referensi

  1. ^ a b Huggett, Nick; Hoefer, Carl (2017). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Spring 2017). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-05. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  2. ^ a b c Tim., Maudlin, (2012). Philosophy of physics : space and time. Princeton: Princeton University Press. ISBN 0691143099. OCLC 761850799.  "...the existence and nature of space and time (or space-time) is a central topic.
  3. ^ a b c d e "A Brief History and Philosophy of Physics". www.trentu.ca. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-06-25. Diakses tanggal 2017-10-09. 
  4. ^ Cole, M.D., The Maya, 3rd ed. (Thames and Hudson, London) 1984.
  5. ^ D., Sally, Judith (2007). Roots to research : a vertical development of mathematical problems. Providence, R.I.: American Mathematical Society. ISBN 0821844032. OCLC 162502037. 
  6. ^ Bruce., Benward, (2003). Music in theory and practice (edisi ke-7th ed). Boston: McGraw-Hill. ISBN 9780072942620. OCLC 61691613. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-18. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  7. ^ Leucippus.; 1936-, Taylor, C. C. W. (Christopher Charles Whiston), (1999). The atomists, Leucippus and Democritus : fragments : a text and translation with a commentary. Toronto [Ont.]: University of Toronto Press. ISBN 0802043909. OCLC 244768656. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-05-08. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  8. ^ 1872-1970., Russell, Bertrand, (1991). History of western philosophy : and its connection with political and social circumstances from the earliest times to the present day (edisi ke-2nd ed). London: Routledge. ISBN 0415078547. OCLC 221108071.  hlm 62, 72.
  9. ^ 1933-, Lloyd, G. E. R. (Geoffrey Ernest Richard), (1968). Aristotle: the growth and structure of his thought,. London,: Cambridge U.P. ISBN 0521094569. OCLC 308104. 
  10. ^ Aristotle (translated by J.L Stocks). "On the Heavens". ebooks.adelaide.edu.au (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-12. Diakses tanggal 2017-10-09.  hlm 1-2.
  11. ^ David C. Lindberg, "The Medieval Church Encounters the Classical Tradition: Saint Augustine, Roger Bacon, and the Handmaiden Metaphor", in David C. Lindberg and Ronald L. Numbers, ed. When Science & Christianity Meet, (Chicago: University of Chicago Pr., 2003), p.8
  12. ^ King, David A. (1983). "The Astronomy of the Mamluks". Isis. 74: 531–555. doi:10.1086/353360.
  13. ^ George., Saliba, (1994). A history of Arabic astronomy : planetary theories during the golden age of Islam. New York: New York University Press. ISBN 0814780237. OCLC 35666761. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-03-21. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  14. ^ Sayili, Aydin. "Ibn Sina and Buridan on the Motion the Projectile". Annals of the New York Academy of Sciences vol. 500(1). p.477-482.
  15. ^ Espinoza, Fernando. "An Analysis of the Historical Development of Ideas About Motion and its Implications for Teaching". Physics Education. Vol. 40(2).
  16. ^ "Biography of Al-Biruni" Diarsipkan 2016-05-29 di Wayback Machine.. University of St. Andrews, Scotland
  17. ^ 1908-1990., Pines, Shlomo, (1986). Studies in Arabic versions of Greek texts and in mediaeval science. Jerusalem: Magnes Press, Hebrew University. ISBN 9652236268. OCLC 14217211. 
  18. ^ 1926-, Grant, Edward, (1996). The foundations of modern science in the Middle Ages : their religious, institutional, and intellectual contexts. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0521567629. OCLC 33948732.  Hlm 55-63, 87-104.
  19. ^ S., Kuhn, Thomas (1957). The Copernican revolution : planetary astronomy in the development of Western thought. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 0674171039. OCLC 535467.  Hlm 5-20
  20. ^ Rivka., Feldhay, (1995). Galileo and the church : political inquisition or critical dialogue?. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780521344685. OCLC 30668444. Hlm 205-207.
  21. ^ S.,, Westman, Robert (2011). The Copernican question : prognostication, skepticism, and celestial order. Berkeley: University of California Press. ISBN 9780520254817. OCLC 747411317.  Hlm 195-196
  22. ^ James., Holton, Gerald; James., Holton, Gerald (2001). Physics, the human adventure : from Copernicus to Einstein and beyond (edisi ke-[3rd ed.]). New Brunswick, N.J.: Rutgers University Press. ISBN 0813529085. OCLC 44777310. 
  23. ^ "Scientific Revolution - Renaissance and Reformation - Oxford Bibliographies - obo" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-05. Diakses tanggal 2017-10-09. 
  24. ^ 1564-1642., Galilei, Galileo, (1957). Discoveries and opinions of Galileo (edisi ke-[1st ed.]). Garden City, N.Y.,: Doubleday. ISBN 0385092393. OCLC 546066. Hlm. 237-238
  25. ^ Stillman., Drake, (1978). Galileo at work : his scientific biography. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 0226162265. OCLC 3770650. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-11. Diakses tanggal 2017-10-10. Hlm 146.
  26. ^ In Sidereus Nuncius (Favaro, 1892, 3:81 Archived 27 January 2012 at the Wayback Machine. (in Latin)) Galileo stated that he had reached this conclusion on 11 January. Drake (1978, p. 152), however, after studying unpublished manuscript records of Galileo's observations, concluded that he did not do so until 15 January.
  27. ^ M.), Linton, C. M. (Christopher (2004). From Eudoxus to Einstein : a history of mathematical astronomy. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 9780521827508. OCLC 552963366. 
  28. ^ a b Rynasiewicz, Robert (2014). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Summer 2014). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-18. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  29. ^ Slowik, Edward (2017). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Fall 2017). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-18. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  30. ^ Slowik, Edward (2002). Cartesian Spacetime. International Archives of the History of Ideas / Archives Internationales d’Histoire des Idées (dalam bahasa Inggris). Springer, Dordrecht. hlm. 45–74. doi:10.1007/978-94-017-0975-0_4. ISBN 9789048159314. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-09. Diakses tanggal 2017-10-10.  Hlm 45-47. "Thus, his first law of motion states "that each thing, as far as is in its power, always remains in the same state; and that consequently, when it is once moved, it always continues to move .... Descartes insists that the quantity conserved in collisions equals the sum of the individual products of size and speed of the impacting bodies ..."
  31. ^ a b Definitions in Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, Bk. 1 (1689); trans. Andrew Motte (1729), rev. Florian Cajori, Berkeley: University of California Press, 1934. Hlm. 6-12.
  32. ^ "Newton's Second Law of Motion". www.grc.nasa.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-01. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  33. ^ Ballard, Kaith Emerson (1960). "Leibniz's Theory of Space and Time". Journal of the History of Ideas. 21 (1): 49–65. doi:10.2307/2707998. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-10. Diakses tanggal 2017-10-10.  Hlm 55-57. "Space, for Leibniz, is merely the order of coexistence of matter, and is therefore established as a consequence of God's creating and arranging matter. On the relational theory it is literally nonsensical to suggest that, without any difference inthe mutual relations of the various parts, the material universe as a whole could have been created in a different region of space, for space is nothing but the order or relation of the various coexistent parts of the universe, and comes into existence only when those parts are created. Therefore, Leibniz concluded that we ought to replace the rejected absolute theory by a relational theory of space."
  34. ^ See H. G. Alexander, ed., The Leibniz-Clarke Correspondence, Manchester: Manchester University Press, pp. 25–26.
  35. ^ Suisky, Dieter (2009). Euler as Physicist (dalam bahasa Inggris). Springer, Berlin, Heidelberg. hlm. 33–64. doi:10.1007/978-3-540-74865-6_2. ISBN 9783540748632. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-08. Diakses tanggal 2017-10-10. Chapter 2, Hlm 12-23.
  36. ^ Whittaker, Edmund Taylor (1910). A History of the theories of aether and electricity (1. ed.). Dublin: Longman, Green and Co.
  37. ^ Whittaker, Edmund Taylor (1951), A History of the theories of aether and electricity Vol. 1: The classical theories (2. ed.), London: Nelson
  38. ^ Janssen, Michel; Stachel, John (2008), The Optics and Electrodynamics of Moving Bodies (PDF)
  39. ^ Lange, Ludwig (1886), Die geschichtliche Entwicklung des Bewegungsbegriffes, Leipzig: Wilhelm Engelmann
  40. ^ Giulini, Domenico (2001), "Das Problem der Trägheit" Diarsipkan 2020-11-30 di Wayback Machine. (PDF), Preprint, Max-Planck Institut für Wissenschaftsgeschichte, 190: 11–12, 25–26
  41. ^ Robert DiSalle (Summer 2002), "Space and Time: Inertial Frames", in Edward N. Zalta, The Stanford Encyclopedia of Philosophy
  42. ^ a b c Cheng, Ta-Pei (2005). Relativity, Gravitation and Cosmology: A Basic Introduction (dalam bahasa Inggris). OUP Oxford. ISBN 9780198529576.  Hlm 71-112.
  43. ^ "Special Relativity". casa.colorado.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-11. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  44. ^ Alexander., Bolonkin, (2012). Universe, human immortality and future human evaluation (edisi ke-1st ed). London: Elsevier. ISBN 9780124158108. OCLC 769156318. 
  45. ^ a b "What It Means When Two Particles Are Entangled". ThoughtCo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-30. Diakses tanggal 2017-10-10. 
  46. ^ "Entanglement". www.informationphilosopher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-02. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  47. ^ "Nonlocality". www.informationphilosopher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-03. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  48. ^ "Nonseparability". www.informationphilosopher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-29. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  49. ^ Karkoktas Vilos(2004). Forms of Quantum Nonseparability and Related Philosophical Consequences. Archived. Diarsipkan 2023-05-31 di Wayback Machine. Journal for General Philosophy of Science, 2004, 35, pp. 283-312
  50. ^ Myrvold, Wayne C. (2010) Nonseparability, Classical and Quantum. Archived Diarsipkan 2023-05-29 di Wayback Machine. University of Western Ontario.
  51. ^ Furuta, Aya (2012), "One Thing Is Certain: Heisenberg's Uncertainty Principle Is Not Dead" Diarsipkan 2013-11-05 di Wayback Machine., Scientific American
  52. ^ Ozawa, Masanao (2003). "Universally valid reformulation of the Heisenberg uncertainty principle on noise and disturbance in measurement". Physical Review A. 67 (4). doi:10.1103/physreva.67.042105. 
  53. ^ Rozema, Lee A.; Darabi, Ardavan; Mahler, Dylan H.; Hayat, Alex; Soudagar, Yasaman; Steinberg, Aephraim M. (2012-09-06). "Violation of Heisenberg's Measurement-Disturbance Relationship by Weak Measurements". Physical Review Letters. 109 (10): 100404. doi:10.1103/PhysRevLett.109.100404. 
  54. ^ nptelhrd (2008-12-16), Lecture - 1 Introduction to Quantum Physics;Heisenbergs uncertainty principle, diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-14, diakses tanggal 2017-10-11 
  55. ^ Musser, George. "The Quantum Physics of Free Will". Scientific American (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-27. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  56. ^ "Thermodynamics". www.grc.nasa.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-27. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  57. ^ a b Sklar, Lawrence (2015). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Fall 2015). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-15. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  58. ^ "statistical mechanics | physics". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  59. ^ "The Arrow of Time". www.informationphilosopher.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-01. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  60. ^ "6.5 Irreversibility, Entropy Changes, and ``Lost Work". web.mit.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-03. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  61. ^ a b Smeenk, Christopher; Ellis, George (2017). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Winter 2017). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-12. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  62. ^ a b c "The Origin of the Universe". Stephen Hawking. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-30. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  63. ^ "Bishop Ussher Dates the World: 4004 BC". www.lhup.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-24. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  64. ^ "Aristotelian Cosmology". physics.ucr.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-06. Diakses tanggal 2017-10-11. 
  65. ^ Simon., Singh, (2004). Big bang : the most important scientific discovery of all time and why you need to know about it. London: Fourth Estate. ISBN 0007152515. OCLC 56647855. 
  66. ^ Overbye, Dennis (2017-02-20). "Cosmos Controversy: The Universe Is Expanding, but How Fast?". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-04. Diakses tanggal 2017-10-11. 

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Topik filsafat juga tersedia dalam Proyek Wikimedia Diarsipkan 2018-01-12 di Wayback Machine. lainnya.
Commons
Galeri dan peta
Wiktionary
Kamus dan tesaurus
Wikiquote
Kutipan
Wikibooks
Buku dan manual
 
Wikisource
Perpustakaan
Wikiversity
Bahan belajar
 
Filsafat
Filsafat
Filsafat
Geografi
Geografi
Geografi
Matematika
Matematika
Matematika
Tokoh
Tokoh
Biologi
Tokoh
Tokoh
Kimia
Sejarah
Sejarah
Sejarah
Teknologi
Teknologi
Teknologi
Tokoh
Tokoh
Fisika