Henoteisme

Tuhan yang dipercaya sebagai satu-satunya penguasa dan pencipta di bumi

Henoteisme adalah suatu pemahaman bahwa hanya ada satu dewa yang berkuasa di dalam dunia tanpa memungkiri akan keberadaan dewa-dewa lainnya.[1][2] Henoteisme juga dipahami sebuah tahap keagamaan yang berada di antara politeisme ke monoteisme.[3] Tahap keagamaan yang dimaksud adalah Tahap perubahan keyakinan dari keyakinan bahwa ada banyak dewa yang berkuasa (politeisme] sampai keyakinan bahwa hanya ada satu dewa berkuasa (monoteisme).[3] Henoteisme mempunyai sinonim yaitu monolatrisme.[3][3] Dalam kaitannya dengan ibadah atau penyembahan, henoteisme dilihat sebagai suatu ibadah yang secara temporal dilakukan terhadap satu dewa yang dianggap berkuasa.[3] Namun, dewa yang dianggap berkuasa tersebut menyerap dewa-dewa lainnya.[3]

Deskripsi

Henoteisme mempunyai secara sederhana dipahami sebagai pemahaman yang tentang satu dewa yang berkuasa, tetapi tetap mengakui keberadaan dewa-dewa lain.[3] Namun, ada banyak sudut pandang tentang pengertian henoteisme.[1] Salah satunya adalah sudut pandang yang melihat bahwa henoteisme adalah sebuah pemahaman yang menyatakan bahwa ada satu dewa yang berkuasa di dunia ini.[1] Akan tetapi, penguasa di satu tempat berbeda dengan penguasa di tempat lain.[1] Ada yang sudut pandang yang melihat bahwa henoteisme adalah sebuah pemahaman yang menyatakan bahwa hanya ada satu dewa yang berkuasa di dunia, tetapi dewa itu hanya berlaku pada masa tertentu.[1] Pada masa yang lain, dewa lain yang akan berkuasa.[1]

Asal Mula

Friedrich Schelling

Pada mulanya, istilah henoteisme digunakan untuk melihat sistem kepercayaan di Mesir dan Israel.[4] Mesir dan Israel memperlihatkan sistem kepercayaan kepada satu dewa.[4] Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melihat perbedaan dari sistem kepercayaan tersebut.[4] Pertanyaan ini menuntut sebuah jawaban yang didasarkan pada pertimbangan yang matang.[4] Istilah henoteisme merupakan sebuah usaha untuk merangkul perbedaan dari sistem kepercayaan tersebut.[4] Dalam dunia akademis, istilah ini muncul dalam diskusi agama-agama.[4] Istilah henoteisme muncul pada abad 19 oleh seorang yang bernama F. Max Muller.[4] Tokoh lain yang memakai istilah henoteisme sebelum F. Max Muller adalah Friedrich Schelling.[4]F. Max Muller menggunakan istilah henoteisme untuk memahami bahwa ada satu dewa yang berkuasa di atas dewa-dewa lain.[4] Kuasa ini yang memungkinkan dewa ini memiliki posisi di atas dewa-dewa lainnya.[4][5] ide tentang henoteisme ini muncul saat Muller membaca kitab Weda.[4] Selain F. Max Muller, tokoh lain yang juga memakai istilah henoteisme adalah Henk S. Versnel.[4] Versnel memakai istilah henoteisme untuk membaca sistem kepercayaan di Romawi.[4] Bagi Versnel, istilah henoteisme cocok dengan sistem kepercayaan di Romawi.[4]

Lingkup kepercayaan

Henoteisme merupakan jenis kepercayaan yang bersifat kesukuan atau kebangsaan. Dewa agung hanya dimiliki oleh satu dewa saja bagi satu suku atau satu bangsa. Perannya sebagai kekuasaan tertinggi di antara dewa-dewa yang lainnya. Satu dewa agung hanya dipercaya oleh suatu suku atau bangsa tertentu. Sementara suku lainnya tidak memuja dewa tersebut.[6]

Reference

  1. ^ a b c d e f (Indonesia) Antonius Atosokhi Gea. 2004. Character Building III Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
  2. ^ J.S.Badudu. 2003. Kamus kata-kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbut Buku Kompas. hlm 133.
  3. ^ a b c d e f g (English) Natan Macdonald. 2012. Deuteronomy and the Meaning of "Monotheism": 2nd Edition. Tubingen: Mohr Siebeck.Hlm 54.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n (English) Mark S. Smith. 2008. God in Translation: Cross Cultural Recognition of Deity in Biblical World. Tubingen: Mohr Siebeck.
  5. ^ Mariasusai Davamhony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:Kanisius. Hlm 124.
  6. ^ Kasno (2018). Salsabila, Intan, ed. Filsafat Agama (PDF). Surabaya: Alpha. hlm. 38. ISBN 978-602-6681-18-8. 

Lihat pula