Jadabarata

Dalam mitologi Hindu, Jadabarata (Dewanagari: जडभारत; ,IASTJaḍabhārata, जडभारत) (Jaḍa = dungu; bodoh) adalah reinkarnasi Barata (Dewanagari: भारत; ,IASTBhārata, भारत), seorang raja putra Resaba, keturunan Swayambu Manu. Dalam kitab Bhagawatapurana diceritakan bahwa setelah meninggal sebagai Barata, rohnya bereinkarnasi menjadi kijang, lalu menjadi brahmana bernama Jadabarata. Kisahnya muncul dalam kitab Wisnupurana, dan bab 5 Bhagawatapurana.

Kehidupan lampau Jadabarata

Menurut kitab Bhagawatapurana dan Wisnupurana, saat hidup sebagai raja, Jadabarata dipanggil Barata, dan ia dikenal pemuja Dewa Wisnu yang taat. Ayahnya adalah Resaba, seorang awatara (penjelmaan) Dewa Wisnu – dewa pelindung alam semesta. Barata memperoleh pengetahuan suci dari ayahnya. Setelah Resaba pensiun, Barata memerintah kerajaannya. Bhagawatapurana mendeskripsikannya sebagai raja yang adil dan bijaksana. Barata melakukan berbagai yadnya (upacara suci) dan memerintah cukup lama. Barata menikah dengan Pancajani dan memiliki beberapa putra. Saat tua, ia menyerahkan kerajaannya kepada putra-putranya. Kemudian ia melanjutkan hidup sebagai pertapa. Ia tinggal di sebuah asrama di pinggir sungai Gandaki dan senantiasa berdoa kepada Wisnu untuk mendapatkan pencerahan.

Pada suatu hari, saat Barata sedang mandi di pinggir sungai, ia melihat seekor kijang hamil sedang meminum air. Tiba-tiba terdengar raungan singa dari arah hutan. Secara refleks, kijang tersebut melompat ke dalam sungai. Pada saat itu juga, anak yang dikandungnya lahir. Bayi kijang yang baru lahir itu tenggelam dan dihanyutkan oleh arus sungai, sementara induknya berhasil menyeberang ke sisi sungai yang lain, tetapi segera tewas karena kelelahan. Barata yang menyaksikan peristiwa tersebut segera berenang untuk menyelamatkan bayi kijang yang hanyut itu. Barata berhasil menyelamatkannya. Ia merawat bayi kijang itu di asrama sampai hewan itu cukup besar. Barata sangat menyayangi kijang itu. Kijang itu berkeliaran di sekitar asramanya, tetapi tidak berani pergi terlalu jauh karena takut akan hewan predator di tengah hutan. Ketika sudah cukup dewasa, kijang itu sering meninggalkan asrama pada pagi hari lalu kembali pada sore hari.

Sejak merawat kijang itu, perhatian Barata selalu tertuju pada kijang kesayangannya, hingga ia tidak berkonsentrasi dalam melakukan meditasi. Ia mengkhawatirkan kijang kesayangannya saat si kijang pergi dari asramanya pada pagi hari, dan ia akan merasa senang bila si kijang kembali pada sore harinya. Ia selalu cemas dan dan selalu berpikir apakah kijang itu dapat bertahan hidup di tengah hutan yang dihuni oleh singa. Karena terlalu memikirkan kijang kesayangannya, maka jika ia tidak mengawasi kijang itu hatinya menjadi tidak tenang. Sampai menjelang ajalnya, Barata selalu memikirkan kijang kesayangannya, sementara perlahan-lahan ia melupakan Dewa Wisnu. Akhirnya Barata meninggal dunia saat masih memikirkan nasib kijang kesayangannya.

Jadabarata sebagai kijang

Barata bereinkarnasi menjadi kijang yang jatismara, yaitu mampu mengingat kehidupannya yang lampau. Sebagai seekor hewan jatismara, Barata menyadari kesalahannya dalam melakukan yoga yang disebabkan karena kesalahannya sendiri. Akhirnya ia pergi meninggalkan induknya. Ia pergi menuju ke lokasi pertapaannya yang dulu. Di sana ia menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal dunia.

Kisah Jadabarata

Setelah bereinkarnasi sebagai kijang, Barata bereinkarnasi menjadi seorang brahmana jatismara, yang mampu mengingat kehidupannya sebelum bereinkarnasi. Ia menyadari bahwa hubungan dengan sesama manusia pun mampu menimbulkan keterikatan. Ia tidak mau terikat lagi, karena kegagalannya pada masa lalu. Akhirnya ia berpura-pura menjadi orang gila dan bodoh. Maka dari itu, ia dipanggil Jadabarata, karena jaḍa berarti dungu atau bodoh. Sesungguhnya Jadabarata telah mancapai pengetahuan yang tertinggi. Ia merasa tidak perlu lagi mempelajari Weda atau melakukan apapun. Hal itu membuatnya diperlakukan sewenang-wenang. Saat ayahnya meninggal, kerabatnya memberikannya makanan yang busuk. Barata menerimanya dengan ikhlas. Karena tenaganya yang kuat, kerabatnya memperkerjakannya sebagai buruh untuk pekerjaan yang memerlukan tenaga besar.

Pada suatu hari, Raja Rahugana dari Kerajaan Soubira mengunjungi asrama Resi Iksumati. Dalam perjalanan menuju ke sana, sang raja memutuskan untuk menaiki tandu. Para pengawal raja segera mencari seseorang bertenaga besar karena dibutuhkan satu orang lagi untuk memikul tandu sang raja, dan mereka mendapatkan Jadabarata. Bersama dengan para pelayan lainnya, Jadabarata memikul tandu sang raja. Langkah Jadabarata lebih lambat daripada langkah yang lainnya sebab ia berusaha agar semut atau serangga kecil lainnya tidak terinjak. Perbuatan Jadabarata membuat perjalanan menjadi lambat. Sang raja menjadi kecewa atas kerja Jadabarata, lalu ia bertanya kepada Jadabarata tentang alasan kenapa Jadabarata memikul tandu dengan lambat. Mulanya sang raja menyangka bahwa Jadabarata sedang lelah, tetapi Jadabarata menyangkalnya. Sang raja berkata, "Aku lihat kau sangat kuat. Tadi kau mengangkat tandu ni di bahumu. Wajar kalau kau sedikit lelah, tetapi mengapa seperti itu jalannya?"

Jadabarata berkata, "Siapakah saya dan siapakah Anda? Yang Anda lihat sebagai saya adalah tubuh saya, dan tubuh Anda sebagai Anda sendiri. Saya bukanlah tubuh saya dan Anda bukanlah tubuh Anda. Atman yang ada dalam diri kita adalah diri kita yang sebenarnya. Sedangkan atman tidak pernah lelah, tidak pula sedang memikul tandu ini."

Mendengar jawaban Jadabarata, Raja Rahugana segera bersujud sebab ia sadar bahwa Jadabarata bukanlah orang biasa, sebab jawaban Jadabarata tidak mungkin terpikirkan oleh orang awam. Akhirnya Jadabarata mengajari sang raja tentang Jiwatman (atman dalam suatu wujud) dan Paramatman (sumber atman, yaitu Tuhan). Jiwatman tidak pernah mati atau hancur, dan selalu mengambil wujud baru setiap bereinkarnasi. Paramatman berada di mana-mana, memenuhi alam semesta. Tidak ada perbedaan antara Jiwatman dengan Paramatman. Orang yang menganggapnya berbeda adalah orang-orang yang masih terikat oleh ilusi.

Silsilah sebagai Barata


Lihat pula

Pranala luar