Kilesa

Kilesa (Pali; Sanskerta: klesa; Tibet: nyon mongs), dalam Buddhisme, adalah keadaan mental yang mengeruhkan pikiran dan terwujud dalam perbuatan buruk. Dalam Theravada, penyebab eksistensi dan penderitaan (dukkha) manusia diidentifikasi sebagai pengidaman (tanha), yang disertai dengan kekotoran batin (kilesa). Kekotoran batin yang mengikat manusia pada siklus kelahiran kembali diklasifikasikan ke dalam satu kelompok sepuluh “Belenggu”, sementara kekotoran batin ini – yang terkadang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “toxic mental states (keadaan mental beracun)” - yang menghambat konsentrasi (samadhi) disajikan dalam satu kelompok beruas-lima yang disebut “Lima penghalang”.[1] Tingkat kekotoran batin bisa berupa kasar, menengah, dan halus. Ini adalah fenomena yang sering kali muncul, bertahan untuk sementara dan kemudian menghilang. Theravadin percaya kekotoran batin tidak hanya berbahaya bagi diri sendiri, tetapi juga berbahaya untuk orang lain. Kekotoran batin ini adalah kekuatan pendorong di belakang semua ketidak-manusiawian yang dilakukan manusia.

Enam akar kilesa

Abhidharma-Kosa mengidentifikasi enam akar kilesa (mūlakleśa):[2]

  • Kelekatan (raga)
  • Amarah (pratigha)
  • Ketidaktahuan (avidya)
  • Kebanggaan/tipu daya (mana)
  • Keraguan (vicikitsa)
  • Pandangan salah (dristi)

Tiga tahap kilesa

Ada tiga tahap kekotoran batin. Selama tahap pasif kekotoran batin tertidur di dasar kontinum mental sebagai kecenderungan laten (anusaya), tetapi melalui dampak dari rangsangan sensorik, kecenderungan-kecenderungan ini akan mewujudkan dirinya (pariyutthana) di permukaan kesadaran dalam bentuk pikiran jahat, emosi, dan kehendak. Jika kecenderungan-kecenderungan ini mengumpulkan kekuatan tambahan, kekotoran batin akan mencapai tahap pelanggaran berbahaya (vitikkama), yang kemudian akan melibatkan tindakan fisik atau vokal.

Theravadin percaya kekotoran batin ini merupakan kebiasaan yang terlahir dari ketidaktahuan (bahasa Pali: avijja) yang menimpa pikiran semua makhluk yang tak-tercerahkan, yang berpegang teguh terhadapnya dan terhadap pengaruhnya dalam ketidaktahuannya terhadap kebenaran. Namun dalam kenyataannya, kekotoran batin ini tidak lebih dari sekadar noda-noda yang telah mendera pikiran, menciptakan penderitaan dan tekanan. Makhluk yang tak-tercerahkan menjadi lekat pada tubuh, dengan asumsi bahwa kelekatan itu mewakili diri, padahal dalam kenyataannya tubuh adalah fenomena tak-kekal yang terbentuk dari empat unsur dasar. Sering ditandai dengan bumi, air, api dan udara, pada teks-teks Buddhis awal unsur-unsur ini berturut-turut didefinisikan sebagai inti sari yang mewakili padatan, cairan, suhu, dan mobilitas kualitas indrawi.[3]

Sering munculnya bisikan kekotoran batin dan manipulasi pikiran diyakini telah mencegah pikiran dari melihat sifat sejati dari kenyataan. Perilaku tidak terampil pada gilirannya dapat memperkuat kekotoran batin, tetapi dengan mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan dapat melemahkan atau membasmi kekotoran batin ini. Avijja dihancurkan oleh wawasan.

Rujukan

  1. ^ Bhikkhu Bodhi. "The Noble Eightfold Path: The Way to the End of Suffering". Buddhist Publication Society.
  2. ^ Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding." Dharma Publishing. Edisi Kindle, 321.
  3. ^ Dan Lusthaus, What is and isn't Yogacara. Diarsipkan 2013-12-16 di Wayback Machine.