Makanan dan minuman tabu

Makanan dan minuman tabu adalah makanan dan minuman yang membuat orang menjauhkan diri dari mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut. Hal ini terjadi karena adanya larangan agama atau budaya yang ada agar tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Banyak makanan tabu melarang daging hewan tertentu, termasuk mamalia, tikus, reptil, amfibi, ikan bertulang, moluska dan krustasea. Beberapa hal yang tabu khusus untuk bagian tertentu atau ekskresi hewan, sementara makanan tabu lain merupakan konsumsi jenis tanaman, jamur, atau serangga. Dapat dikatakan bahwa persoalan pantangan atau tabu dalam mengkonsumsi makanan tertentu terdapat secara universal di seluruh dunia. Makanan pantangan berkaitan dengan jenis makanan tertentu yang harus kita hindari. Secara khusus, hal ini berkaitan dengan kepercayaan dan isu-isu magis religius.[1] Beberapa suku melakukannya untuk melestarikan sumber daya alam, sementara beberapa lainnya untuk membuat ritual khusus lebih berkesan magis. Secara umum, pantangan makanan dapat memperkuat identitas dan kohesi kelompok atau budaya tertentu.[1] Pantangan makanan adalah bagian dari kepercayaan dan praktik budaya. Sementara itu, masyarakat mewariskan pantangan makanan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses ini berbarengan dengan pewarisan unsur budaya lainnya. Proses pewarisan kepercayaan terkait pantangan makanan antar generasi ini menjelaskan konsistensi pantangan makanan yang berlaku pada beberapa suku.[2][3] Selain di tingkat individu, pantangan makanan juga berlaku di tingkat komunal, terutama di masyarakat yang masih kental dengan tradisi.[4] Individu juga dapat berpantang makanan dalam suatu kelompok kekerabatan, hal ini untuk memanifestasikan diri mereka sebagai tetua adat.[1] Di suku-suku tertentu, mereka percaya makanan tabu memiliki konsekuensi berbahaya bagi mereka yang melanggar batasan ini. Makanan pantangan bagi ibu hamil, misalnya, diyakini dapat mempengaruhi bayi yang akan dilahirkan. Masyarakat Jawa melarang ibu hamil makan nasi goreng, durian, nangka, nanas, dan tebu. Orang Jawa percaya makanan ini menyebabkan komplikasi saat melahirkan.[2] Ibu hamil suku Madura di Indonesia pantang makan cumi, udang, nanas, ambarela, kol, air dingin. Orang Madura percaya bahwa makanan ini memiliki efek buruk pada janin dalam kandungan.[5] Wanita etnis Tengger di Jawa Timur, Indonesia, berpantang makanan yang dianggap tidak biasa, seperti makanan lengket atau kembar. Situasi tersebut karena adanya pendekatan simbolik, fungsional, dan religius atau nilai. Jika wanita Tengger mengkonsumsi makanan jenis ini, mereka percaya akan melahirkan anak sesuai dengan ciri fisiknya. Selain itu, ibu hamil Tengger juga harus menghindari makanan panas. Jenis makanan tersebut adalah cabai, merica, nanas, dan tape (makanan fermentasi). Suku Tengger percaya jenis makanan ini menyebabkan janin kepanasan dan bisa menyebabkan keguguran.[6][7] Sementara, mitos di Nigeria Tenggara melarang anak-anak setempat mengonsumsi daging bekicot. Ada ketakutan bahwa anak-anak akan berjalan seperti siput.[8]

Tabu bagi perempuan muda dan dewasa

Sesuai dengan konstruksi sosial yang mengelilinginya, perempuan diharuskan untuk selalu tampil cantik, dalam arti: berkulit mulus, berambut panjang lurus, bertubuh langsing tinggi dan seterusnya. Untuk mendapatkan gambaran seperti itu, perempuan harus menahan diri termasuk menjauhi makanan yang disukainya, seperti kacang dan coklat. Kacang dan coklat menjadi tabu bagi banyak perempuan karena diyakini dapat membuat badan melebar dan wajah berjerawat.[9] Karena takut gemuk pula, perempuan juga kerap menghindar dari konsumsi nasi dan keju.[9] Padahal yang dituntut dari perempuan bukan hanya langsing, seperti yang dinyatakan Prabasmoro,[10] ia juga harus berkulit putih, ‘bersih’, ‘berseri’, ‘mulus’, ‘halus’, ‘kencang’ dan sebagainya. Itulah sebabnya, perempuan pada umumnya telah terbiasa menahan keinginannya untuk makan demi menjadi ‘cantik’ seperti yang dituntut sekelilingnya.

Berdasarkan kajian Bertermann dari lembaga sosial Girl Effect dan Nutricion International yang dikutip Aziz (2018),[11] kepercayaan terhadap sejumlah larangan untuk mengonsumsi makanan-makanan tertentu membuat remaja putri Indonesia mengalami kekurangan gizi hingga menghambat pertumbuhannya. Alih-alih menikmati makanan sehat, mereka cenderung memakan kudapan dan fast food. Remaja putri yang disurvey Bertermann mengaku menghindari mentimun karena dianggap menyebabkan keputihan, dan nanas yang dapat membuat mereka sulit hamil kelak. Penelitian keadaan nutrisi remaja putri berumur 13-18 tahun tersebut dilakukan pada tahun 2017, di antaranya di daerah Lombok. Para peneliti menemukan 10% remaja terlalu kurus atau indeks massa tubuhnya rendah, sementara 10% lainnya justru mengalami kelebihan berat badan.

Tabu Makanan bagi Perempuan Hamil dan Menyusui

Perempuan yang mendapatkan tabu makanan berikunya adalah Perempuan hamil. Kehamilan dipandang sebagai peristiwa publik. Satu-satunya peristiwa pribadi dalam suatu kehamilan adalah bahwa janin tumbuh di suatu tubuh subjek perempuan. Bahkan karena visibilitasnya, subjek hamil sesungguhnya tidak dapat menyembunyikan proses di dalam tubuhnya itu. Dengan demikian, kehamilan sangat berpotensi menjadi ruang ketika semua orang merasa dapat berpartisipasi dan mempunyai hak atas kehamilan itu. Kehamilan memublikkan subjek hamil (Priyatna, 2005).[12] Campur tangan orang tua dan suami sangat jelas menjadi sumber dari pantangan-pantangan makan bagi perempuan hamil. Tabu makanan yang dipercaya perempuan hamil, menurut Rofi’ah, S.K dkk. (2017: 3)[13] dapat memengaruhi pemilihan makanan sebagai bentuk asupan nutrisinya. Berbagai jenis makanan memang dianjurkan dikonsumsi untuk memperlancar proses kehamilan dan persalinannya. Namun, ibu hamil juga harus melakukan pemilihan dan pantang makanan tertentu karena ingin menghormati anjuran orang tua (ibu atau ibu mertua) dan untuk menghindari berbagai konflik yang dapat timbul nantinya. Munculnya pandangan tentang makanan yang boleh atau tidak boleh dimakan seperti ini menimbulkan kategori “bukan makanan” sebagai sebutan makanan yang tidak boleh dimakan (Anderson, 2006: 313).[14]

Menurut Fannania (2017),[15] ada tujuh jenis makanan yang dilarang untuk dikonsumsi perempuan hamil, yaitu: (1) gurita, karena diyakini janin akan terbelit ariari ketika dilahirkan dan juga akan mengakibatkan penyakit gatal pada ibu dan janinnya, (2) ikan hiu, yang dapat mengakibatkan janin sulit keluar dan akan terjadi perdarahan saat melahirkan, (3) ikan yang dapat menyebabkan bau badan ibu dan janin dalam kandungan menjadi amis, (4) udang yang masih dipercaya dapat membuat anak yang dilahirkan menjadi bungkuk. Budaya tabu lainnya adalah bila ibu hamil mengonsumsi (5) jantung pisang, bentuk kepala bayi akan menjadi lonjong seperti jantung pisang. (6) Salak juga tidak dianjurkan untuk dikonsumsi karena menyebabkan perempuan susah buang air besar. Sedangkan buah (7) durian dan nanas dipercaya akan menyebabkan keguguran dan juga menurut Dewi (2009: 5) dianggap membuat kelamin perempuan ‘becek’ dan mengalami keputihan. Penelitian lainnya yang dilakukan Karti kowati (2014: 164)[16] mengungkapkan tentang mitos berkaitan dengan makanan yang tumbuh dalam masyarakat Melayu di wilayah Kuantan. Selama berada dalam proses kehamilan, perempuan tidak boleh banyak makan nenas, tidak boleh banyak minum es karena dikhawatirkan anak bayi membesar sehingga sulit saat persalinan

Konstruksi Sistem Patriarki di Balik Tabu Makanan pada Perempuan

Menurut penelitian Anita, (2012)[17], para antropolog tertarik untuk mengkaji makanan karena persoalan makan dan makanan terjadi tidak hanya karena masalah fisiologis, tetapi juga karena alasan budaya. Dalam pandangan Wolf (2017: 302),[18] makanan adalah simbol utama dari kesejahteraan sosial. Mereka yang dihormati oleh masyarakat, pastilah makan dengan baik. Bahkan pembagian makanan di depan umum adalah tentang menetapkan relasi-relasi kekuasaan, dan menikmatinya bersama-sama adalah tentang menyatukan kesetaraan sosial. Oleh karena itulah, menurut Wolf (2017: 303),[18] dalam konteks mitos kecantikan, semua hal yang berhubungan dengan makan pada perempuan adalah sebuah isu publik, porsi makan (yang lebih sedikit) membenarkan dan memperkuat perasaan inferior perempuan secara sosial. Jadi ketika perempuan tidak bisa menyantap makanan yang sama dengan laki-laki, perempuan tidak mendapatkan status yang sama di dalam masyarakat. Bahkan bagi Diamond (2013: 283),[19] pengaturan atau pelarangan terhadap makanan-makanan tertentu seperti ini bisa jadi berkaitan dengan konflik kepentingan dalam memperebutkan sumber daya (makanan).

Berbeda dengan perempuan yang menghadapi banyak tabu makanan, kaum laki-laki tidak mengalami tabu makanan secara signifikan. Laki-laki di Jeneponto, Sulawesi Selatan, misalnya hanya pantang memakan daun kelor (Sukandar, 2007b: 45).[20] Pantangan ini karena daun itu akan membuat tubuh mereka pegal-pegal. Lakilaki di Banjar, Jawa Barat, hanya dilarang mengonsumsi jengkol dan petai karena menyebabkan rematik (Sukandar, 2006a: 55).[21] Sedangkan di Rokan Hulu, Riau, laki-laki tidak dianjurkan makan sayap dan kepala ayam (Sukandar, 2006b: 116),[22] karena dipercaya dapat membuat mereka ditolak perempuan saat perjodohan dan dapat membuat laki-laki menjadi pelupa. Jenis-jenis tabu makanan ini menunjukkan bahwa laki-laki pada umumnya cenderung leluasa memilih makanan yang mungkin tidak disukainya sebagai pantangan, dan bahan makanan tersebut memang tidak bergizi tinggi. Oleh karena itu, tidak ada kerugian yang besar pada pihak laki-laki bila makanan itu tidak disantap. Alasan pantangan pun berkelindan dengan kepentingan kesehatan mereka semata.

Makanan Tabu pada Ibu Hamil Suku Tengger

Beberapa penelitian di dunia menemukan bahwa ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi kekurangan gizi karena tabu makanan (food taboo). Di beberapa wilayah di Indonesia, ibu hamil pantang mengonsumsi udang, ikan pari, cumi, dan kepiting karena dianggap dapat menyebabkan kaki anak mencengkeram rahim ibu, dan sulit untuk dilahirkan.Tabu makanan dapat meningkatkan risiko defisiensi protein hewani, lemak, vitamin A, kalsium, dan zat besi ibu hamil.[23] Selain itu, risiko kekurangan zat gizi diperparah oleh peningkatan kebutuhan zat gizi kehamilan.[24][25][26] Tabu makanan umumnya berkembang dalam tatanan sosial politik yang masih sederhana. Meskipun saat ini arus informasi berkembang sangat cepat dan luas, tabu makanan masih banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia.[27][20] Tabu makanan dapat mengakibatkan konsep ‘dapat’ (eatable) atau ‘tidak’ suatu makanan dimakan oleh kelompok masyarakat. Pada kondisi kelaparan pun, masyarakat cenderung memilih tidak makan daripada harus mengonsumsi makanan tersedia yang menjadi pantangan.[28] Dibandingkan desa Jetak Probolinggo, yang dominan beragama Hindu, Ngadas lebih didominasi oleh agama Budha. Selain itu, desa Probolinggo lebih terbuka jika dibandingkan dengan desa Ngadas yang letaknya agak terisolir. Perbedaan agama dan aksesibilitas di dua kabupaten tersebut memungkinkan adanya perbedaan tabu makanan. Hal inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai tabu makanan pada ibu hamil di Desa Ngadas Kabupaten Malang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui makanan apa saja yang ditabukan ibu hamil suku Tengger di Ngadas, Malang dan alasan menabukannya.[29]

Makanan yang dipantang ibu hamil suku Tengger di Ngadas, Malang dapat dikelompokkan menjadi kelompok buah dan sayur, kelompok lauk, kelompok makanan yang dianggap panas, dan kelompok makanan yang dianggap tidak lazim seperti makanan dempet atau kembar. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, pantangan makan yang ada di Tengger Ngadas hampir mempunyai kesamaan dengan pantangan makan yang dianut oleh masyarakat Tengger Probolinggo. Dilihat dari jumlahnya, pantangan makan ibu hamil di Tengger Ngadas jauh lebih banyak daripada pantangan makan ibu hamil di Tengger Probolinggo.[20] Ditinjau dari tabu makanan yang ada, terdapat beberapa zat gizi yang mungkin terhindarkan pada ibu hamil Tengger Ngadas.[6] Zat gizi tersebut antara lain serat, mineral, vitamin, dan protein. Selama kehamilan, kebutuhan zat gizi meningkat dan tabu makanan dapat memperparah kejadian kurang gizi selama kehamilan. Jika tabu makanan bersifat sangat ketat, defisiensi zat gizi tersebut menjadi lebih parah dan dapat berdampak tidak saja pada ibu hamil, tetapi juga pada bayi yang dilahirkan.[25][26] Tabu makanan di India meningkatkan risiko defisiensi zat gizi seperti protein hewani, lemak, vitamin A, kalsium, dan zat besi pada ibu hamil.[23]

Buah-buahan merupakan kelompok makanan yang paling banyak dipantangkan. Hal ini berbeda dengan pernyataan FAO,[27] bahwa makanan hewani merupakan jenis makanan yang paling banyak dipantangkan di dunia. Di Ghana, makanan hewani merupakan makanan yang lebih banyak dipantangkan daripada makanan nabati.[30] Buah-buahan dan sayuran kaya akan serat dan zat gizi. Kekurangan serat dapat memperparah kondisi konstipasi yang umum ditemui pada kehamilan.[31] Selain serat, buah melodi (pepino), mangga kweni, pisang, nanas, nangka, durian, dan salak merupakan buah yang kaya karoten (prekursor vitamin A), vitamin C, zat besi, asam folat, dan mineral seperti kalium, fosfor, serta kalium.[32][33][34]Defisiensi vitamin A pada kehamilan dapat meningkatkan risiko malformasi organ pada janin seperti paru-paru, jantung, dan saluran urinaria. Kekurangan zat besi, vitamin C, dan asam folat bersama-sama dapat menyebabkan anemia ibu hamil dan anak yang dilahirkan.[32]

Lauk yang ditabukan pada ibu hamil Tengger Ngadas adalah lele dan bandeng, Bagi ibu hamil beragama Islam, babi dianggap pantangan dan daging juga pantang bagi penganut. Tabu makanan ikan air tawar seperti bandeng dan lele dapat mengeksklusikan zat gizi seperti asam lemak omega 3 dan omega 6, protein hewani, niasin, dan kobalalamin.[35] Kekurangan asam omega tiga dapat menyebabkan pertumbuhan bayi terhambat, Intelligence Quotient (IQ) pada anak menjadi rendah, perkembangan saraf dan penglihatan bayi terganggu, serta anemia ibu hamil.[36][37] Makanan yang ditabukan karena dianggap panas antara lain merica, cabai, nanas, dan durian. Dikotomi makanan panas dan dingin bukan berasal dari suhu makanan tersebut. Sistem pengelompokkan tersebut datang dari China dan India dan merupakan penyimbolan suatu makanan. Sehat didefinisikan sebagai kondisi seimbang antara unsur panas dan unsur dingin. Ibu yang hamil diibaratkan sedang mengalami kondisi sangat panas sehingga diperlukan makanan dingin dan terdapat larangan mengonsumsi makanan panas. Makanan panas baru boleh dikonsumsi menjelang proses kelahiran untuk mempercepat persalinan.[38][39] Kelompok makanan tabu yang tidak lazim antara lain buah dempet atau telur yang berkuning dua. Makanan tersebut dipercaya mempunyai dampak yang buruk bagi kehamilan di masyarakat Tengger Ngadas.

Semua tabu makanan ibu hamil bertujuan untuk melindungi ibu hamil dan janin dari bahaya yang dapat ditimbulkan dari makanan tertentu baik karena alasan yang bersifat magis atau kesehatan. Dari sisi magis, bahaya makanan diasosiasikan dengan bentuk makanan. Hal tersebut dapat dilihat pada pantangan makan salak atau lele. Ibu hamil pantang makan salak karena dipercaya dapat membuat kulit anak bersisik seperti salak. Pantangan makan jenis ini menggunakan alasan pendekatan secara simbolis. Alasan pendekatan pantangan makan lainnya yaitu secara fungsional melihat suatu makanan berdasarkan nilai manfaatnya terhadap kesehatan.[40] Pantangan makan seperti ini misalnya adalah pantangan makan buah melodi yang dapat mengakibatkan darah rendah, makanan ‘panas’ dan makanan yang bersifat menggugurkan, kol dan kubis yang mengandung zat kimia berbahaya (pestisida), es, dan makan buah yang banyak. Masyarakat Tengger Ngadas juga memantangkan makanan berdasarkan nilai dan agama yang mereka anut seperti pada vegetarianisme dan masyarakat beragama Islam. Jenis pantangan yang didasarkan atas agama merupakan perilaku makan yang bersifat absolut atau tidak dapat berubah karena didasarkan atas larangan agama.[41]

Pantangan Makanan pada Suku Muyu di Papua

Suku Muyu memiliki pantangan terhadap beberapa jenis makanan. Hambatan makanan ini berlaku untuk pria dan wanita, baik anak-anak maupun orang dewasa. Makanan bisa dibilang tabu berdasarkan bentuk fisiknya, selain karena kepercayaan masyarakat Muyu bahwa ada kualitas buruk yang melekat pada bahan makanan tersebut. Mereka sering menggunakan makanan yang dianggap panas sebagai alasan. Tabu makanan untuk pria paling erat kaitannya dengan praktik ritual karena menjalani inisiasi sebagai tómkót. Tómkót adalah profil big man bagi Suku Muyu. Tómkót adalah profil pemimpin yang sempurna bagi Suku Muyu. Dia berwibawa, dihormati karena kepribadiannya; aura itu muncul dari dalam dirinya. Situasinya berbeda dengan kawab, yang juga merupakan salah satu profil pemimpin Muyu. Hanya saja kawab bisa mendapatkan kepemimpinannya melalui kekayaan dan kekuasaan dan bahkan bisa bertindak kasar untuk mencapai tujuannya[42] Jenis pantangan makanan untuk tómkót adalah ikan sembilang, udang biru, kuskus, dan ular. Jika seorang pria berani mengambil risiko untuk memakan pantangan ini, maka aura kepemimpinannya dapat memudar, karena itu berarti laki-laki Muyu tersebut tidak dapat menahan diri. Kemampuan menahan diri adalah salah satu keutamaan tómkót bagi big man Suku Muyu. Jika laki-laki Muyu melanggar pantangan makanan tersebut, kekuatan gaib (waruk) mereka bisa berkurang, dan bahkan hilang.[7] Selain pantangan terhadap jenis makanan tertentu, mereka juga melarang anak laki-laki Muyu yang memulai inisiasi menjadi tómkót untuk makan makanan yang dimasak oleh perempuan. Walaupun mereka memasak makanan yang tidak termasuk kelompok makanan pantangan, pelanggaran terhadap pantangan tersebut akan menyebabkan penyakit pada anak laki-laki, yaitu radang alat kelamin, luka, dan demam.[42] Secara umum, anak kecil harus menghindari beberapa makanan. Kali ini makanan pantangan ini tidak terkait dengan proses inisiasi untuk menjadi tómkót. Makanan tersebut adalah kacang-kacangan, kelapa, dan merica. Anak-anak sebaiknya menghindari pantangan makanan seperti ini agar tidak cepat sakit, terutama batuk dan demam18 .[43] Suku Muyu menentukan beberapa pantangan makanan berdasarkan ciri fisik makanan tersebut. Misalnya, pantangan makanan berwarna kuning karena khawatir perempuan Muyu akan melahirkan anak berkulit kuning. Pada prinsipnya, situasi ini sama dengan konsep makanan tabu yang dilaporkan dalam penelitian di suku Tengger sebelumnya. Selain itu, masyarakat Muyu juga akrab dengan ide makanan pantangan karena bersifat panas. Bedanya, makanan panas suku Tengger berlaku untuk ibu hamil, sedangkan di suku Muyu berlaku untuk wanita yang sedang haid.[6]

Catatan kaki

  1. ^ a b c Meyer-Rochow, Victor Benno (2009-06-29). "Food taboos: their origins and purposes". Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. 5: 18. doi:10.1186/1746-4269-5-18. ISSN 1746-4269. PMC 2711054alt=Dapat diakses gratis. PMID 19563636. 
  2. ^ a b Triratnawati, Atik (2019-02-08). "Food Taboos and Codes of Conduct for Pregnant Women at Mount Sindoro, Wonosobo District, Central Java, Indonesia". STUDIES ON ETHNO-MEDICINE. 13 (02). doi:10.31901/24566772.2019/13.02.590. ISSN 0973-5070. 
  3. ^ Chakona, Gamuchirai; Shackleton, Charlie (2019-11-05). "Food Taboos and Cultural Beliefs Influence Food Choice and Dietary Preferences among Pregnant Women in the Eastern Cape, South Africa". Nutrients. 11 (11): 2668. doi:10.3390/nu11112668. ISSN 2072-6643. 
  4. ^ Iradukunda, Favorite (2019-04-18). "Food taboos during pregnancy". Health Care for Women International. 41 (2): 159–168. doi:10.1080/07399332.2019.1574799. ISSN 0739-9332. 
  5. ^ Goswami, Ritu Geu; Thakur, Mini Bhattacharyya (2019-11-22). "Folk beliefs of food avoidance and prescription among menstruating and pregnant Karbi women of Kamrup district, Assam". Journal of Ethnic Foods. 6 (1). doi:10.1186/s42779-019-0013-7. ISSN 2352-6181. 
  6. ^ a b c Sholihah, Lini Anisfatus; Sartika, Ratu Ayu Dewi (2014-02-01). "Makanan Tabu pada Ibu Hamil Suku Tengger". Kesmas: National Public Health Journal: 313. doi:10.21109/kesmas.v0i0.372. ISSN 2460-0601. 
  7. ^ a b Laksono, Agung Dwi; Wulandari, Ratna Dwi (2021-09-01). "Pantangan Makanan pada Suku Muyu di Papua". Amerta Nutrition. 5 (3): 251. doi:10.20473/amnt.v5i3.2021.251-259. ISSN 2580-9776. 
  8. ^ Ekwochi, Uchenna; Osuorah, Chidiebere D. I.; Ndu, Ikenna K.; Ifediora, Christian; Asinobi, Isaac Nwabueze; Eke, Christopher Bismark (2016-01-27). "Food taboos and myths in South Eastern Nigeria: The belief and practice of mothers in the region". Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. 12 (1). doi:10.1186/s13002-016-0079-x. ISSN 1746-4269. 
  9. ^ a b Azrimaidaliza, Azrimaidaliza; Asri, Rozaliny; Handesti, Meta; Lisnayenti, Yossi (2017-12-09). "PROMOSI MAKANAN SEHAT DAN BERGIZI DALAM UPAYA PENINGKATAN STATUS GIZI IBU HAMIL". LOGISTA - Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat. 1 (2): 67. doi:10.25077/logista.1.2.67-74.2017. ISSN 2579-6283. 
  10. ^ Purnomo, Mulyo Hadi (2017-12-01). "Menguak Budaya dalam Karya Sastra: Antara Kajian Sastra dan Budaya". Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. 1 (1): 75. doi:10.14710/endogami.1.1.75-82. ISSN 2599-1078. 
  11. ^ Intan, Tania (2018-12-15). "FENOMENA TABU MAKANAN PADA PEREMPUAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI FEMINIS". PALASTREN Jurnal Studi Gender. 11 (2): 233–258. doi:10.21043/palastren.v11i2.3757. ISSN 2477-5215. 
  12. ^ Kurniasari, Nendah; Priyatna, Fatriyandi NurNur Priyatna (2014-11-29). "KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN ADAPTASI MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN DAMPAK BANJIR TERHADAP USAHA BUDIDAYA IKAN DI TAMBAK". Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 4 (2): 167. doi:10.15578/jksekp.v4i2.604. ISSN 2527-3280. 
  13. ^ widyastuti.s, putri (2021-10-19). "PERILAKU MAKANAN YANG TIDAK SEHAT LEBIH BERESIKO LEBIH TINGGI DALAM KEJADIAN PREEKLAMSIA PADA KESEHATAN IBU HAMIL". dx.doi.org. Diakses tanggal 2022-01-03. 
  14. ^ Kalangie, Nico (2014-07-18). "Pelayanan Kesehatan Pimer : Suatu Penilaian Sosial dari Sudut Pandang Antropologi Kesehatan". Antropologi Indonesia. 0 (59). doi:10.7454/ai.v0i59.3374. ISSN 1693-6086. 
  15. ^ Juariah, - (2018-07-18). "KEPERCAYAAN DAN PRAKTIK BUDAYA PADA MASA KEHAMILAN MASYARAKAT DESA KARANGSARI, KABUPATEN GARUT". Sosiohumaniora. 20 (2). doi:10.24198/sosiohumaniora.v20i2.10668. ISSN 2443-2660. 
  16. ^ Kristianingsih, Ani; Suryanti, Endang (2019-12-31). "Hubungan Keikutsertaan Kelas Ibu Hamil Terhadap Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi Persalinan Pada Ibu Hamil Trimester III Di Desa Branti Raya Kecamatan Branti Lampung Selatan Tahun 2019". Jurnal Kesehatan Masyarakat Mulawarman (JKMM). 1 (2): 64. doi:10.30872/jkmm.v1i2.2961. ISSN 2686-360X. 
  17. ^ Anita, Sumarni Bayu (2012). "KULINER DAN KONSTRUKSI IDENTITAS KELOKALAN Studi Kasus Tentang Pempek Bagi Orang Kita di Kota Palembang". Universitas Gadjah Mada. 
  18. ^ a b Julian, Royyan (2016-07-01). "MITOS KECANTIKAN DALAM CERPEN-CERPEN DWI RATIH RAMADHANY". Poetika. 4 (1): 52. doi:10.22146/poetika.v4i1.13315. ISSN 2503-4642. 
  19. ^ "The world until yesterday: what can we learn from traditional societies?". Choice Reviews Online. 51 (02): 51–0957–51–0957. 2013-09-19. doi:10.5860/choice.51-0957. ISSN 0009-4978. 
  20. ^ a b c Sukandar, Dadang (2007-03-11). "MAKANAN TABU DI JENEPONTO SULAWESI SELATAN". Jurnal Gizi dan Pangan. 2 (1): 42. doi:10.25182/jgp.2007.2.1.42-46. ISSN 2407-0920. 
  21. ^ Sukandar, Dadang (2007-03-13). "MAKANAN TABU DI BANJAR JAWA BARAT". Jurnal Gizi dan Pangan. 1 (1): 51. doi:10.25182/jgp.2006.1.1.51-56. ISSN 2407-0920. 
  22. ^ Sukandar, Dadang (2007-07-11). "MAKANAN TABU DI BARITO KUALA KALIMANTAN SELATAN". Jurnal Gizi dan Pangan. 2 (2): 44. doi:10.25182/jgp.2007.2.2.44-48. ISSN 2407-0920. 
  23. ^ a b Varadarajan, A.; Prasad, Sheela (2009-12). "Regional Variations in Nutritional Status among Tribals of Andhra Pradesh". Studies of Tribes and Tribals. 7 (2): 137–141. doi:10.1080/0972639x.2009.11886605. ISSN 0972-639X. 
  24. ^ Hidayana, Irwan (2014-07-16). "Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya". Antropologi Indonesia. 0 (57). doi:10.7454/ai.v0i57.3351. ISSN 1693-6086. 
  25. ^ a b 085210645600 (2021-03-26). "PEMILIHAN MAKANAN YANG TEPAT UNTUK IBU HAMIL DAN POLA MAKANNYA PASCA MELAHIRKAN". dx.doi.org. Diakses tanggal 2022-01-03. 
  26. ^ a b Ebrahim, G. J. (1978). Care of the Newborn. London: Macmillan Education UK. hlm. 20–23. ISBN 978-0-333-25363-2. 
  27. ^ a b "FAO. 2010. Breeding strategies for sustainable management of animal genetic resources. FAO Animal Production and Health Guidelines. No. 3. Rome, pp 155. ISBN 978-92-5-106391-0". Animal Genetic Resources/Ressources génétiques animales/Recursos genéticos animales. 47: 138–139. 2010-07. doi:10.1017/s2078633610001086. ISSN 2078-6336. 
  28. ^ Asanti, Ernis; Martianto, Drajat; Briawan, Dodik (2019-01-31). "Trajektori Pertumbuhan Anak Stunting dan Normal di Indonesia". Indonesian Journal of Human Nutrition. 6 (2): 110–118. doi:10.21776/ub.ijhn.2019.006.02.5. ISSN 2442-6636. 
  29. ^ Putri, Desti Sagita; Sukandar, Dadang (2012-11-01). "KEADAAN RUMAH, KEBIASAAN MAKAN, STATUS GIZI, DAN STATUS KESEHATAN BALITA DI KECAMATAN TAMANSARI, KABUPATEN BOGOR". Jurnal Gizi dan Pangan. 7 (3): 163. doi:10.25182/jgp.2012.7.3.163-168. ISSN 2407-0920. 
  30. ^ Aryeetey, Richmond; Oltmans, S; Owusu, F (2016-12-06). "Food retail assessment and family food purchase behavior in Ashongman estates, Ghana". African Journal of Food, Agriculture, Nutrition and Development. 16 (4): 11386–11403. doi:10.18697/ajfand.76.15430. ISSN 1684-5374. 
  31. ^ "Nutrition During Pregnancy and Lactation". 2020-01-03. doi:10.3390/books978-3-03928-055-1. 
  32. ^ a b Shetty, Prakash (ed.). Nutrition through the life cycle. Cambridge: Royal Society of Chemistry. hlm. 1–14. 
  33. ^ Eltahir, Muneer E. S.; Elsayed, Mohamed E. O. (2019). Adansonia digitata: Phytochemical Constituents, Bioactive Compounds, Traditional and Medicinal Uses. Cham: Springer International Publishing. hlm. 133–142. ISBN 978-3-030-31884-0. 
  34. ^ Khoo, Hock Eng; Ismail, Amin; Mohd-Esa, Norhaizan; Idris, Salma (2008-09-23). "Carotenoid Content of Underutilized Tropical Fruits". Plant Foods for Human Nutrition. 63 (4): 170–175. doi:10.1007/s11130-008-0090-z. ISSN 0921-9668. 
  35. ^ Maritasari, Dwi Yulia; Pratiwi Putri, Dian Utama (2021-06-02). "KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI (KIE) PEDOMAN GIZI SEIMBANG DALAM MENCEGAH MASALAH GIZI PADA BALITA". Abdi Dosen : Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat. 5 (2): 234. doi:10.32832/abdidos.v5i2.871. ISSN 2620-5165. 
  36. ^ Sunita., Almatsier, (2002). Prinsip dasar ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-655-686-3. OCLC 422500523. 
  37. ^ Innis, Sheila M. (2007-04-01). "Dietary (n-3) Fatty Acids and Brain Development". The Journal of Nutrition. 137 (4): 855–859. doi:10.1093/jn/137.4.855. ISSN 0022-3166. 
  38. ^ Helman, Cecil (1984). Culture and Pharmacology. Elsevier. hlm. 106–122. 
  39. ^ The Center for Khmer Studies. BRILL. 2020-08-17. hlm. 91–114. 
  40. ^ Navarrete, Carlos David; Fessler, Daniel (2003). "Meat Is Good to Taboo: Dietary Proscriptions as a Product of the Interaction of Psychological Mechanisms and Social Processes". Journal of Cognition and Culture. 3 (1): 1–40. doi:10.1163/156853703321598563. ISSN 1567-7095. 
  41. ^ Yuliawati, Dian (2021-06-06). "KONSEP DASAR ILMU GIZI". dx.doi.org. Diakses tanggal 2022-01-03. 
  42. ^ a b Schoorl, J. W. (1975). Salvation Movements Among the Muyu-Papuas of West-Irian. Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 167–189. ISBN 978-90-247-1787-3. 
  43. ^ Laksono, Agung Dwi; Dewi, Yulis Setiya; Wulandari, Ratna Dwi (2020-11-30). "Muyu tribes' local wisdom: complimentary care for limited health access". Eurasian Journal of Biosciences (dalam bahasa english). 14 (2): 5871–5878. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-03. Diakses tanggal 2022-01-03.