Matriarki

Matriarki adalah lawan dari patriarki, yaitu sistem sosial yang didominasi oleh kepemimpinan perempuan. Matriarki dapat diartikan juga sebagai sistem sosial hipotetis di mana ibu atau perempuan tua mempunyai kekuasaan mutlak atas kelompok keluarga; dengan perluasan, satu atau lebih perempuan (seperti dalam dewan) menggunakan tingkat kekuasaan yang sama atas komunitas secara keseluruhan.[1] Dalam masyarakat atau kelompok yang menganut paham matriarki, kekuasaan menurun dari garis ibu, berbeda dengan patriarki yang merupakan dominasi kepemimpinan laki-laki. Matriarki cukup umum ditemukan di negara-negara Asia dan Afrika.[2] Kelompok matriarki adalah kelompok yang tidak meremehkan perempuan karena mereka adalah perempuan. Masyarakat matriarki memandang bahwa kekuasaan harus dibagi dengan adil antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam kebudayaan matriarki, seorang ibu memegang posisi sentral.[3]

Matriarki mengimplikasikan adanya negosiasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki sebagai upaya menentang tradisi patriarki di mana laki-laki lebih dominan dan berkuasa dalam membuat keputusan-keputusan penting. Matriarki menentukan bentuk-bentuk kultural, khususnya dalam persoalan agama dan keluarga. Dalam sistem matriarki, perempuan akan memiliki pilihan dari pasangan suaminya dan anak akan mengikuti nama keluarga ibunya serta warisan diturunkan menurut garis ibu. Keluarga ibu berhak akan anak-anak dan dapat melakukan klaim terhadap pemeliharaan keluarga. Walau begitu, laki-laki tertua dari keluarga memainkan peranan sebagai kepala keluarga dan karenanya dapat dilakukan negosiasi kekuasaan dalam suatu keluarga.[2]

Sejarah dan Konsep

Di bawah pengaruh teori evolusi biologis Charles Darwin, banyak sarjana pada abad ke-19 yang berupaya menyusun teori evolusi budaya. Teori tersebut dikenal sebagai evolusi budaya unilineal, yang saat ini mendiskreditkan bahwa organisasi sosial manusia berevolusi melalui beberapa tahapan, seperti pergaulan bebas seksual seperti binatang diikuti oleh matriarki, yang pada gilirannya lalu diikuti oleh patriarki. Beberapa antropolog seperti Lewis Henry Morgan, J.J. Bachofen, dan filsuf Jerman Friedrich Engels memegang peran penting dalam perkembangan teori ini.

Para antropolog dan sosiolog modern sepakat bahwa sementara ada banyak budaya yang memberikan otoritas istimewa terhadap satu jenis kelamin atau jenis kelamin lainnya. Dalam hal ini, masyarakat matriarki dalam konsep evolusioner asli tidak pernah ada. Namun, beberapa sarjana terus memakai istilah matriarki dan patriarki dalam pengertian umum untuk tujuan deskriptif, analitis, dan pedagogis.[1]

Konsep matriarki muncul di kalangan pemikir Eropa pada abad ke-19. Pada tahun 1861, antropolog Swiss Johann Jakob Bachofen memublikasikan sebuah kajian mengenai masyarakat kuno di mana dalam masyarakat tersebut ada aturan perempuan yang menjadi salah satu tahap awal dari perkembangan sosial. Dalam hal ini, Bachofen menyebut bahwa matriarki lahir dari tatanan sosial sebelumnya yaitu hetaerisme. Konsep ini ditandai dengan adanya ketidakaturan seksualitas dan ketidakberdayaan perempuan. Bachofen berpendapat bahwa perempuan melawan situasi tersebut, mengambil peran yang dominan, menguasai properti, memerintah keluarga mereka, dan memperoleh kekuasaan politik. Pada tahap selanjutnya, Bachofen dan sarjana lainnya meyakini, laki-laki mengambil kekuasaan dari ibu pemimpin, melembagakan patriarki. Lalu, matriarki muncul sebagai respons atas adanya gerakan patriarki.[4]

Heide Göttner-Abendroth memiliki peran penting dalam studi komunitas matriarki. Pada tahun 1986, dia mendirikan International Academy for Modem Matriarchal Studies and Matriarchal Spirituality. Dia berpendapat bahwa komunitas matriarki bergerak dalam empat bidang yaitu sosial, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dalam bidang sosial, komunitas matriarki menempatkan motherhood secara pusat. Dalam matriarki, laki-laki tahu apa yang diperlukan guna memenuhi peran ibu. Selain itu, anak-anak dibesarkan secara bersama karena semua orang dapat memiliki peran sebagai ibu.

Dalam bidang ekonomi, komunitas matriarki tidak menurunkan harta melalui garis keturunan ayah. Sebaliknya, mereka berbagi harta dan seorang ibu dari sebuah suku mengatur pembagian harta tersebut kepada seluruh anggotanya. Selanjutnya dalam bidang politik, perempuan memiliki otoritas untuk melakukan praktik politik dalam kegiatan sehari-hari. Tersebab itu, baik laki-laki atau perempuan memilki peran yang sama dalam memutuskan kebijakan bagi kelompok mereka. Terakhir, dalam bidang budaya, kelompok matriarki menyembah dewi-dewi dan menganggap alam liar sebagai perempuan.[3]

Aturan Seksualitas

Sebelum menyoal aturan seks dalam kelompok matriarki, perlu dipahami terlebih dahulu aturan seks dalam kelompok patriarki. Kelompok patriarki memiliki aturan bahwa harta sebuah keluarga diturunkan melalui keturunan ayah. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan agar kuasa dan harta dapat diwariskan dari ayah ke anak. Oleh sebab itu, aturan seksualitas dan sistem reproduksi alami perempuan betul-betul dikontrol dan diawasi dengan ketat. Hasilnya, seksualitas perempuan yang diperlihatkan dengan gamblang menjadi hal tabu.[3]

Berlawanan dengan sistem patriarki, kelompok matriarki memiliki aturan bahwa pewarisan kuasa dan harta tidak mengenal jalur ayah. Hal itu disebabkan karena anak-anak mendapatkan pengasuhan secara bersama sehingga identitas ayah biologis mereka tidak urgensi lagi. Oleh sebab itu, cara pandang mengenai seksualitas dan keturunan antara kaum patriarki dan kaum matriarki sangat jelas berbeda.[3]

Matriarki di Indonesia

Salah satu masyarakat matrilineal terbesar di dunia merupakan suku Minangkabau di Sumatera Barat. Kaum perempuan dalam suku Minangkabau memiliki keistimewaan khusus serta dapat mengambil peranan penting di dalam komunitas. Peranan-peranan tersebut temasuk peran sebagai pemilik harta warisan, penerus keturunan, serta manajer bagi keluarga masing-masing.[5] Dalam sistem sosial matriarki di Minangkabau, seorang lelaki seperti orang luar dari keluarga matrilineal istrinya. Anak-anak dari suatu keluarga secara otomatis akan menjadi keluarga ibu mereka karena sistem matrilineal, memakai nama suku ibu alih-alih nama suku ayah.[5]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b "Matriarchy | social system | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  2. ^ a b Rokhmansyah, Alfian (2016). Pengantar Gender dan Feminisme : Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Garudhawaca. hlm. 35. 
  3. ^ a b c d "Budaya Memakai Sistem Matriarki Bikin Aktivitas Seks Jauh Lebih Baik Lho". www.vice.com. Diakses tanggal 2023-03-25. 
  4. ^ Gershon, Livia (2020-11-30). "What Does It Mean to Be a Matriarchy?". JSTOR Daily (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  5. ^ a b "Sisa-sisa Matriarki di Nusantara". forum.detik.com. Diakses tanggal 3 Oktober 2017.