Ratu Hemas
Hemas | |
---|---|
Permaisuri Yogyakarta | |
Mulai menjabat 7 Maret 1989 | |
Penguasa monarki | Hamengkubuwana X |
Presiden | Soeharto B.J. Habibie Abdurrahman Wahid Megawati Soekarnoputri Susilo Bambang Yudhoyono Joko Widodo |
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia | |
Masa jabatan 2 Oktober 2009 – 3 April 2017 Menjabat bersama La Ode Ida (2009 - 2014) dan Farouk Muhammad (2014 - 2017) | |
Ketua DPD | Irman Gusman Mohammad Saleh |
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Daerah Istimewa Yogyakarta | |
Mulai menjabat 1 Oktober 2004 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Tatiek Dradjad Supriastuti 31 Oktober 1952 Jakarta, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Independen |
Suami/istri | |
Anak |
|
Orang tua |
|
Alma mater | Universitas Trisakti (tidak selesai) |
Profesi | Politikus |
Sunting kotak info • L • B |
Keluarga Sultan Yogyakarta |
---|
Sri Sultan Hamengkubawana X Keluarga Inti
Keluarga Besar
|
Gusti Kanjeng Ratu Hemas (lahir 31 Oktober 1952)[1] adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwana X, yaitu raja Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1989 dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1998.[1] Sejak tahun 2004, Ratu Hemas menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia asal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah periode 2009-2014 dan 2014-2019.[3]
Awal kehidupan
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dilahirkan dengan nama Tatiek Dradjad Supriastuti adalah anak ketiga (perempuan tunggal) dari tujuh bersaudara.[1] Ia tinggal dan dibesarkan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ayahnya, Soepono Digdosastropranoto, seorang ABRI yang berasal dari Yogyakarta, dan ibu, Susamtilah Soepono, seorang ibu rumah tangga, yang berasal dari Wates, Kulonprogo.[1] Hingga SMA Tarakanita 1 di Jakarta, dan sempat kuliah di Fakultas Arsitektur, Trisakti, Jakarta namun tidak diselesaikan karena menikah pada tahun 1971.[1][4] Tatiek kemudian pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1972 mengikuti suaminya.[1]
Pertemuan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X
Sejak kecil setiap tahun keluarganya di Jakarta berlibur ke rumah kakeknya, bekas abdi dalem Kraton di Yogyakarta, di Soronatan.[1] Pada tahun 1970-an di Yogyakarta, Tatiek (GKR Hemas) bertemu Herjuno Darpito, putera tertua Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu berkuasa, yang kemudian dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono X di gang.[1] Pada umur 19 tahun Tatiek menikah dengan Herjuno Darpito (6 tahun lebih tua) dan meninggalkan kuliahnya.[1] Namanya diganti untuk pertama kalinya menjadi Mangkubumi, dan berganti tiga kali hingga yang terakhir Gusti Kanjeng Ratu Hemas saat Herjuno Darpito naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X.[1] Pernikahannya dikaruniai lima puteri; GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendara.[4]
Riwayat pekerjaan
- Anggota MPR (1997–1999)
- Anggota DPD (2004–2009)
- Anggota DPD (2009–2014)
- Anggota DPD (2014–2019)
- Anggota DPD (2019–2024)
Kegiatan sosial
Pada awal kegiatannya di Kraton Yogyakarta aktivitas sosial Ratu Hemas berkisar di Yayasan Sayap Ibu dan kegiatan pemberantasan buta aksara di Yogyakarta sebagai pengajar.[1] Selain itu, ia juga pernah pula menjadi pemimpin redaksi untuk Majalah Kartini.[4]
Kiprah dan karir politik
Ratu Hemas pernah menjadi salah satu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan masa jabatan dari tahun 1997 hingga tahum 1999 dari Fraksi Utusan Golongan.
Pada tahun 2004 Ratu Hemas mengajukan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa partai politik dan terpilih. Ia juga aktif pada organisasi GPSP (Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan) karena ingin memahami kegiatan perempuan, hak-hak perempuan dan alasan terjun dalam dunia politik.[1]
Pada November 2008 Ratu Hemas mengungkapkan pandangan politiknya menentang Undang Undang Pornografi karena dinilai menyudutkan perempuan.[1] Ratu Hemas bahkan ikut turun ke jalan, berdemonstrasi bersama ribuan rakyat Bali menentang hal tersebut, karena walaupun setuju untuk perlindungan anak dan bahaya internet, ia tidak setuju penggunaan undang-undang untuk hal tersebut.[1]
Pada tahun 2009 Ratu Hemas terpilih kembali menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia independen (tanpa partai politik) untuk masa jabatan 2009 hingga 2014 dengan perolehan 941.153 suara, yang di klaim sebagai delapan puluh persen dari masyarakat Yogyakarta.[2][5]
Pada November 2012 Ratu Hemas bersama dengan Laode Ida, I Wayan Sudirta, dan John Pieris mewakili Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menggugat uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan pasal 22 D UUD 45 mengenai hak-hak yang sama antara lembaga DPD dan DPR, dan melemahkan hubungan antara pusat dan daerah.[3] Selama ini pada proses pembuatan hukum DPD mendapat kekuasaan untuk memberi masukan, tetapi tidak mendapat peran untuk meloloskan hukum tersebut.[6] DPD ingin badan legislasi giat mendukung keinginan rakyat di daerah, dan mendapat peran untuk kuasa ini.[6]
Pada tanggal 21 Desember 2018, Ratu Hemas diberhentikan sementara dari DPD karena beberapa kali tidak menghadiri sidang paripurna DPD serta sudah melewati tahapan sanksi lainnya.[butuh rujukan] Akan tetapi, ia akan melawan keputusan Badan Kehormatan DPD melalui jalur hukum.[7]
Rujukan
- ^ a b c d e f g h i j k l m n "Dari Tembok Kraton ke Senayan". VIVA.co.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2021.
- ^ a b "Situs Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-15. Diakses tanggal 2013-03-19.
- ^ a b "Ratu Hemas: Gugatan DPD RI Tidak Main-Main". suarapembaruan.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-08. Diakses tanggal 15 Agustus 2021.
- ^ a b c Yogya Tribun News: Momen Langka, Sultan dan Ratu Mesra di Depan Publik
- ^ "Ratu Hemas: Saya Masuk DPD Tanpa Parpol". VIVA.co.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2021.
- ^ a b "DPD seeks more authority in lawmaking". jakartapost.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2021.
- ^ Kusuma, Wijaya. Khairina, ed. "GKR Hemas Tak Akan Meminta Maaf dan Memilih Jalur Hukum". Kompas.com. Diakses tanggal 15 Agustus 2021.