Pembentukan spontan

Pembentukan spontan adalah teori ilmiah yang telah ditinggalkan, yang menyatakan bahwa makhluk hidup dapat muncul dari materi tak hidup dan bahwa proses tersebut terjadi secara umum dan teratur. Teori ini menghipotesiskan bahwa bentuk kehidupan tertentu, seperti kutu, dapat muncul dari materi mati seperti debu, atau bahwa belatung dapat muncul dari daging yang membusuk. Doktrin pembentukan spontan pertama kali disusun secara sistematis oleh filsuf dan naturalis Yunani, Aristoteles, yang mengumpulkan serta mengembangkan karya para filsuf alam sebelumnya dan berbagai penjelasan kuno tentang kemunculan organisme. Teori ini diterima secara luas selama dua milenium. Meskipun telah ditentang pada abad ke-17 dan ke-18 melalui eksperimen ahli biologi Italia, Francesco Redi dan Lazzaro Spallanzani, teori ini baru terbantahkan setelah penelitian ahli kimia Prancis, Louis Pasteur, dan fisikawan Irlandia, John Tyndall, pada pertengahan abad ke-19.
Di kalangan ahli biologi, penolakan terhadap pembentukan spontan tidak lagi menjadi perdebatan. Eksperimen yang dilakukan oleh Louis Pasteur dan ilmuwan lainnya dianggap telah membantah gagasan konvensional tentang pembentukan spontan pada pertengahan abad ke-19. Karena semua kehidupan tampaknya berevolusi dari satu bentuk awal sekitar empat miliar tahun yang lalu, perhatian kini beralih ke asal-usul kehidupan.
Deskripsi
“Pembentukan spontan” merujuk pada proses yang diduga memungkinkan berbagai jenis kehidupan muncul berulang kali dari sumber tertentu selain benih, telur, atau induk, serta prinsip teoretis yang mendukung fenomena tersebut. Doktrin ini didasarkan pada gagasan bahwa kehidupan berasal dari benda tak hidup tanpa memerlukan agen penyebab, seperti induk. Contoh yang dikemukakan termasuk munculnya tikus dan hewan lain dari lumpur Sungai Nil pada musim tertentu, munculnya kutu dari benda mati seperti debu, serta kemunculan belatung pada daging yang membusuk.[2][3] Gagasan ini memiliki kesamaan dengan hipotesis modern tentang asal-usul kehidupan, yang menyatakan bahwa kehidupan muncul sekitar empat miliar tahun lalu dari bahan tak hidup melalui proses yang berlangsung selama jutaan tahun, kemudian mengalami diversifikasi menjadi berbagai bentuk yang ada saat ini.[4][5]
Istilah generasi ekuivokal, yang kadang disebut heterogenesis atau xenogenesis, merujuk pada proses yang diduga memungkinkan suatu bentuk kehidupan muncul dari bentuk lain yang tidak berhubungan, seperti cacing pita yang berasal dari tubuh inangnya.[6][7]
Zaman kuno
Filsuf Pra-Sokratik
Pada abad ke-6 dan ke-5 SM, para filsuf Yunani awal, yang dalam zaman kuno disebut physiologoi (Yunani: φυσιολόγοι; dalam bahasa Inggris dikenal sebagai fisik (physical) atau filsuf alam (natural philosopher), berusaha memberikan penjelasan alami terhadap fenomena yang sebelumnya dianggap sebagai hasil campur tangan para dewa.[8] Physiologoi mencari prinsip material atau arche (Yunani: ἀρχή) dari segala sesuatu, dengan menekankan kesatuan rasional dunia luar serta menolak penjelasan teologis atau mitologis.[9]
Anaximander, yang meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari sifat dasar alam semesta, yaitu apeiron (ἄπειρον) atau “tanpa batas” dan “infinite” kemungkinan merupakan pemikir Barat pertama yang mengusulkan bahwa kehidupan berkembang secara spontan dari materi tak hidup. Kekacauan primordial apeiron, yang selalu berada dalam pergerakan, dianggap sebagai wadah tempat oposisi unsur-unsur dasar (seperti basah dan kering, panas dan dingin) berinteraksi untuk membentuk berbagai hal di dunia.[10] Menurut Hippolytus dari Roma pada abad ke-3 M, Anaximander berpendapat bahwa ikan atau makhluk mirip ikan pertama kali terbentuk di lingkungan “basah” ketika dipengaruhi oleh panas matahari, dan bahwa makhluk air ini kemudian berkembang menjadi manusia.[11] Penulis Romawi Censorinus, yang menulis pada abad ke-3, melaporkan:
Anaximander dari Miletos berpendapat bahwa dari campuran air dan tanah yang menghangat, muncul ikan atau makhluk yang sepenuhnya menyerupai ikan. Di dalam makhluk-makhluk ini, manusia terbentuk sebagai embrio yang tetap terperangkap hingga mencapai usia pubertas. Hanya setelah makhluk tersebut pecah, laki-laki dan perempuan dapat keluar dalam keadaan sudah mampu bertahan hidup sendiri.[12]
Filsuf Yunani Anaximenes, murid Anaximander, berpendapat bahwa udara adalah elemen yang memberikan kehidupan serta memungkinkan makhluk hidup bergerak dan berpikir. Ia mengusulkan bahwa tumbuhan dan hewan, termasuk manusia, muncul dari lumpur primordial di daratan, yaitu campuran tanah dan air yang dipanaskan oleh sinar matahari. Filsuf Anaxagoras juga meyakini bahwa kehidupan berasal dari lumpur di daratan. Namun, Anaximenes berpendapat bahwa benih tumbuhan telah ada di udara sejak awal, sementara benih hewan berada di aether. Sementara itu, Xenofanes menelusuri asal-usul manusia ke periode transisi antara tahap cair Bumi dan pembentukan daratan, yang dipengaruhi oleh sinar matahari.[13]
Dalam pandangan yang terkadang dianggap sebagai cikal bakal konsep seleksi alam, Empedokles menerima gagasan pembentukan spontan kehidupan, tetapi berpendapat bahwa berbagai bentuk makhluk hidup muncul secara acak melalui kombinasi bagian-bagian yang berbeda, seolah-olah melalui proses coba-coba. Kombinasi yang berhasil membentuk individu-individu yang dapat bertahan hingga masa kehidupan pengamat, sementara bentuk yang tidak berhasil gagal bereproduksi.[14]
Aristoteles
Dalam karya-karya biologinya, filsuf alam Aristoteles secara ekstensif mengkaji berbagai bentuk reproduksi hewan, baik melalui perkembangbiakan seksual, partenogenesis, maupun pembentukan spontan. Sesuai dengan teori fundamentalnya tentang hylomorfisme, yang menyatakan bahwa setiap entitas fisik merupakan gabungan antara materi dan bentuk, Aristoteles berpendapat bahwa dalam reproduksi seksual, benih jantan memberikan bentuk—”yakni karakteristik yang diwariskan kepada keturunannya—pada materi (darah menstruasi) yang disediakan oleh betina. Dengan demikian, materi dari betina menjadi penyebab material dalam proses pembentukan keturunan, sedangkan semen jantan bertindak sebagai penyebab efisien, yaitu faktor yang memicu dan menentukan keberadaan makhluk tersebut.[15][16] Namun, sebagaimana dikemukakan dalam History of Animals, Aristoteles juga berpendapat bahwa banyak makhluk hidup terbentuk bukan melalui proses seksual, melainkan melalui pembentukan spontan:
Sekarang, ada satu sifat yang ditemukan sama-sama dimiliki oleh hewan dan tumbuhan. Beberapa tumbuhan berkembang dari benih tumbuhan lain, sementara yang lain terbentuk dengan sendirinya melalui prinsip unsur yang menyerupai benih. Dari jenis tumbuhan yang terbentuk sendiri ini, ada yang memperoleh nutrisi dari tanah, sementara yang lain tumbuh di dalam tumbuhan lain…Demikian pula dengan hewan. Beberapa berkembang dari induknya sesuai dengan jenisnya, sementara yang lain muncul secara spontan dan bukan dari keturunan sejenis. Dalam kasus pembentukan spontan ini, ada yang berasal dari tanah atau materi tumbuhan yang membusuk—seperti yang terjadi pada berbagai jenis serangga—sementara yang lain terbentuk di dalam tubuh hewan, dari sekresi organ-organ mereka masing-masing.[17]
— Aristoteles, History of Animals, Buku V, Bagian 1
Menurut teori ini, makhluk hidup dapat muncul dari benda tak hidup dengan cara yang secara kasar dianalogikan dengan “pembentukan materi betina oleh benih jantan” dalam reproduksi seksual.[18] Bahan tak hidup, seperti cairan semen dalam reproduksi seksual, diyakini mengandung pneuma (πνεῦμα, “nafas”) atau “panas vital”. Aristoteles berpendapat bahwa pneuma memiliki lebih banyak “panas” dibandingkan udara biasa, dan panas ini memberikan zat tersebut sifat-sifat kehidupan tertentu:
Setiap jiwa tampaknya memiliki bagian dalam tubuh yang berbeda dan lebih ilahi dibandingkan dengan elemen-elemen yang disebut [empat] unsur…Pada setiap [hewan], apa yang membuat benih menjadi generatif terdapat dalam benih itu sendiri dan disebut sebagai ‘panasnya’. Namun, ini bukanlah api atau kekuatan serupa, melainkan pneuma yang terkandung dalam benih dan dalam materi berbuih, yang serupa dengan unsur-unsur bintang. Inilah sebabnya api tidak dapat menghasilkan makhluk hidup… tetapi panas matahari dan panas hewan bisa, bukan hanya panas yang terdapat dalam benih, tetapi juga sisa-sisa lain dari sifat [hewan] yang mungkin juga memiliki prinsip kehidupan ini.
— Aristoteles, Generation of Animals, 736b29ff.[19]
Aristoteles membuat analogi antara “materi berbuih” (τὸ ἀφρῶδες, to aphrodes) yang ditemukan di alam dengan “benih” hewan, yang ia anggap sebagai sejenis busa itu sendiri (karena terdiri dari campuran air dan pneuma). Menurut Aristoteles, materi generatif pada hewan jantan dan betina (semen dan cairan menstruasi) pada dasarnya adalah hasil penyempurnaan makanan yang dicerna, yang diproses oleh tubuh jantan dan betina sesuai dengan proporsi panasnya masing-masing. Makanan itu sendiri merupakan hasil dari unsur bumi dan air. Dengan demikian, setiap makhluk hidup—baik yang dihasilkan secara seksual dari induknya maupun yang terbentuk secara spontan melalui interaksi panas vital dan materi unsur—bergantung pada proporsi pneuma serta unsur-unsur yang menurut Aristoteles menyusun segala sesuatu.[20] Meskipun Aristoteles mengakui bahwa banyak makhluk hidup muncul dari materi yang membusuk, ia menekankan bahwa pembusukan itu sendiri bukanlah sumber kehidupan, melainkan hasil dari aksi unsur “manis” dalam air.[21]
Hewan dan tumbuhan muncul di dalam tanah dan dalam cairan karena terdapat air di dalam tanah, udara di dalam air, dan di dalam semua udara terdapat panas vital, sehingga dalam suatu pengertian, segala sesuatu dipenuhi oleh jiwa. Oleh karena itu, makhluk hidup terbentuk dengan cepat kapan pun udara dan panas vital ini terperangkap dalam suatu benda. Ketika hal ini terjadi, cairan tubuh yang dipanaskan akan menghasilkan semacam gelembung berbusa.
— Aristoteles, Generation of Animals, Buku III, Bagian 11
Dengan tingkat kepercayaan observasional yang bervariasi, Aristoteles berteori bahwa berbagai makhluk dapat terbentuk secara spontan dari berbagai jenis materi tak hidup. Misalnya, hewan bercangkang (testacea)—yang dalam klasifikasi Aristoteles mencakup bivalvia dan siput—diyakini terbentuk secara spontan dari lumpur, tetapi jenisnya berbeda tergantung pada materi tempat mereka tumbuh. Kepah dan simping berasal dari pasir, tiram dari lendir, sedangkan teritip dan siput laut muncul di celah-celah batu.[22]
Sumber Latin dan Kristen Awal
Athenaeus tidak sependapat dengan gagasan pembentukan spontan. Ia berpendapat bahwa jenis ikan teri tertentu tidak berasal dari telur, seperti yang dikatakan Aristoteles, tetapi justru muncul dari busa laut.[23]
Karena pandangan dominan di kalangan filsuf dan pemikir masih mendukung pembentukan spontan, beberapa teolog Kristen juga menerima gagasan ini. Teolog dan filsuf Berber, Agustinus dari Hippo, membahas pembentukan spontan dalam The City of God dan The Literal Meaning of Genesis. Ia mengutip ayat-ayat Alkitab, seperti “Hendaklah air berkeriapan dengan banyaknya makhluk yang hidup” (Kejadian 1:20), sebagai ketetapan ilahi yang memungkinkan penciptaan terus-menerus.[24]
Abad Pertengahan
Sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 hingga Skisma Timur-Barat pada tahun 1054, pengaruh ilmu pengetahuan Yunani mengalami kemunduran, meskipun gagasan pembentukan spontan umumnya tetap tidak diperdebatkan. Beberapa deskripsi baru muncul, dan beberapa di antaranya memiliki implikasi doktrinal. Pada tahun 1188, Gerald dari Wales, setelah melakukan perjalanan ke Irlandia, berpendapat bahwa mitos tentang soang teritip merupakan bukti kelahiran Yesus dari perawan.[26] Dalam praktik puasa selama Prapaskah, ikan diperbolehkan sementara unggas dilarang. Oleh karena itu, jika soang teritip dianggap sebagai ikan karena diyakini berasal dari kerang, maka konsumsinya seharusnya diperbolehkan selama Prapaskah. Namun, praktik ini akhirnya dilarang melalui dekret Paus Inosensius III pada tahun 1215.[27]
Setelah karya-karya Aristoteles diperkenalkan kembali ke Eropa Barat, teks-teks tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dari naskah aslinya dalam bahasa Yunani atau Arab. Pemikiran Aristoteles mencapai tingkat penerimaan tertinggi pada abad ke-13. Dengan tersedianya terjemahan Latin, filsuf Jerman Albertus Agung dan muridnya, Thomas Aquinas, membawa Aristotelianisme ke puncak kejayaannya. Albertus menulis sebuah parafrase dari Aristoteles, De causis et processu universitatis, di mana ia menghilangkan beberapa komentar dari cendekiawan Arab dan memasukkan beberapa lainnya.[28] Tulisan-tulisan Aquinas yang berpengaruh, baik dalam aspek fisik maupun metafisik, sebagian besar bersandar pada Aristotelianisme, meskipun juga menunjukkan berbagai pengaruh lainnya.[29]
Pembentukan spontan masih dianggap sebagai fakta dalam literatur hingga zaman Renaisans. William Shakespeare, misalnya, menulis tentang ular dan buaya yang terbentuk dari lumpur Sungai Nil:
Lepidus: Kalian punya ular aneh di sana?
Antony: Ya, Lepidus.
Lepidus: Ular Mesir itu sekarang lahir dari lumpur kalian oleh pengaruh matahari kalian; begitu juga buaya kalian.
Antony: Memang begitu.Shakespeare: Antony and Cleopatra: Act 2, scene 7
Penulis The Compleat Angler, Izaak Walton, mengulangi pertanyaan tentang asal-usul belut: “Seperti halnya tikus dan mencit, serta banyak makhluk hidup lainnya yang lahir di Mesir oleh panas matahari saat menyinari luapan sungai”. Meskipun pertanyaan kuno tentang asal-usul belut tetap tidak terjawab dan gagasan tambahan bahwa belut bereproduksi dari pembusukan seiring usia sempat disebutkan, pembentukan spontan tikus dan mencit tidak menimbulkan perdebatan.[30]
Ahli biologi dan ahli mikroskop asal Belanda, Jan Swammerdam, menolak gagasan bahwa satu hewan bisa muncul dari hewan lain atau dari pembusukan secara kebetulan karena ia menganggapnya tidak sesuai dengan ajaran agama. Baginya, konsep pembentukan spontan bersifat tidak religius dan berkaitan dengan ateisme.[31]
Kepercayaan sebelumnya
- Katak diyakini terbentuk secara spontan dari lumpur.[32]
- Tikus dipercaya bisa hamil hanya dengan menjilat garam atau tumbuh dari kelembapan tanah.[32]
- Soang teritip dianggap muncul dari krustasea bernama teritip leher angsa (lihat mitos soang teritip).
- Ular diyakini bisa terbentuk dari sumsum tulang belakang manusia,[32] dan sebelumnya dianggap muncul dari darah Medusa.
- Belut memiliki berbagai cerita asal-usul. Aristoteles mengklaim bahwa belut berasal dari cacing tanah, serta tidak memiliki jenis kelamin, gonad, telur, atau saluran reproduksi.[33] Penulis lain berbeda pendapat. Penulis dan sejarawan alam Romawi, Plinius Tua, tidak membantah keterbatasan anatomi belut, tetapi menyatakan bahwa belut berkembang biak dengan bertunas, menggosokkan tubuhnya ke batu, lalu melepaskan partikel yang akan menjadi belut.[34] Sementara itu, penulis Yunani Athenaeus menggambarkan belut sebagai makhluk yang saling melilit dan mengeluarkan cairan yang kemudian mengendap di lumpur dan membentuk kehidupan.
- Kutu buku diyakini muncul akibat angin yang berlebihan. Vitruvius, seorang arsitek dan penulis Romawi dari abad ke-1 SM, menyarankan agar perpustakaan ditempatkan menghadap ke timur untuk mendapatkan cahaya pagi, tetapi tidak ke selatan atau barat karena angin dari arah tersebut dianggap membawa gangguan.[35]
- Lebah dipercaya muncul dari tubuh sapi yang membusuk, melalui proses yang dikenal sebagai bugonia. Teka-teki Simson dalam Alkitab membuat beberapa orang percaya bahwa lebah juga bisa muncul dari tubuh singa.
- Tawon diyakini dapat terbentuk dari bangkai kuda yang membusuk.
- Tonggeret diyakini muncul dari ludah burung kukuk.[32]
Pendekatan eksperimental
Eksperimen awal
Dokter asal Brussel, Jan Baptist van Helmont, menggambarkan sebuah resep untuk menciptakan tikus (sepotong kain kotor ditambah gandum selama 21 hari) dan kalajengking (tanaman selasih yang ditempatkan di antara dua batu bata dan dibiarkan terkena sinar matahari). Catatannya menunjukkan bahwa ia mungkin telah mencoba eksperimen ini.[36]
Sementara Aristoteles berpendapat bahwa embrio terbentuk melalui proses koagulasi di dalam rahim, dokter Inggris William Harvey menunjukkan melalui pembedahan rusa bahwa tidak ada embrio yang terlihat selama bulan pertama kehamilan. Meskipun karyanya dilakukan sebelum ditemukannya mikroskop, temuannya membuatnya menyarankan bahwa kehidupan berasal dari telur yang tak kasatmata. Dalam halaman depan bukunya Exercitationes de Generatione Animalium (1651), ia menyangkal gagasan pembentukan spontan dengan moto omnia ex ovo (“segala sesuatu berasal dari telur”).[37][38]

Keyakinan kuno tentang pembentukan spontan mulai diuji secara eksperimental. Pada tahun 1668, dokter dan ahli parasitologi Italia, Francesco Redi, menantang gagasan bahwa belatung muncul secara spontan dari daging yang membusuk. Dalam eksperimen besar pertama yang menentang teori pembentukan spontan, ia menempatkan potongan daging dalam berbagai wadah—tertutup rapat, terbuka, dan sebagian tertutup.[39] Menyadari bahwa wadah yang tertutup sepenuhnya tidak mendapatkan udara, ia menggunakan kain tipis Naples veil dan mengamati bahwa tidak ada belatung yang muncul di daging, tetapi larva muncul di kain tersebut.[40] Redi menggunakan eksperimennya untuk mendukung teori preeksistensi yang didukung oleh Gereja Katolik saat itu, yang menyatakan bahwa makhluk hidup berasal dari induknya.[41] Dalam komunitas ilmiah, penelitian Redi segera mendapat pengaruh besar. Hal ini terlihat dalam surat dari teolog alam Inggris, John Ray, kepada anggota Royal Society of London pada tahun 1671, di mana ia menyebut teori pembentukan spontan serangga sebagai sesuatu yang “tidak mungkin”.[42]
Sekitar tahun 1729, Pier Antonio Micheli mengamati bahwa ketika spora jamur ditempatkan di atas irisan melon, jenis jamur yang tumbuh selalu sesuai dengan asal spora tersebut. Dari pengamatan ini, ia menyimpulkan bahwa jamur tidak muncul melalui pembentukan spontan.[43]
Pada tahun 1745, John Needham melakukan serangkaian eksperimen pada kaldu yang telah direbus. Ia beranggapan bahwa proses perebusan akan membunuh semua makhluk hidup. Namun, ia menemukan bahwa ketika kaldu yang telah direbus itu segera disegel, tetap terjadi kekeruhan, yang dianggap sebagai tanda munculnya kehidupan baru. Hasil eksperimennya mendukung keyakinan akan pembentukan spontan dan mendapat persetujuan dari banyak ilmuwan sezamannya.[39]
Lazzaro Spallanzani memodifikasi eksperimen Needham pada tahun 1768 dengan mencoba menghilangkan kemungkinan kontaminasi antara proses perebusan dan penyegelan. Tekniknya melibatkan perebusan kaldu dalam wadah yang telah disegel, dengan udara sebagian dikosongkan untuk mencegah ledakan. Hasil eksperimennya menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroorganisme, tetapi karena udara juga dikeluarkan, masih muncul pertanyaan apakah udara merupakan faktor penting dalam pembentukan spontan.[39] Namun, pandangan ilmiah mulai berubah; pada awal abad ke-19, ilmuwan seperti Joseph Priestley menulis bahwa “Tidak ada dalam filsafat modern yang tampak bagi saya begitu luar biasa seperti kebangkitan kembali doktrin equivocal—atau seperti yang disebut Dr. [Erasmus] Darwin, pembentukan spontan—yang telah lama dianggap usang.”[44]
Pada tahun 1837, fisikawan Charles Cagniard de la Tour dan Theodor Schwann, salah satu pendiri teori sel, secara independen menemukan bahwa ragi berperan dalam fermentasi alkohol. Dengan menggunakan mikroskop, mereka mengamati busa yang terbentuk selama proses pembuatan bir dan menemukan bahwa ragi mengalami pembelahan sel. Berbeda dengan Antonie van Leeuwenhoek yang hanya menggambarkan ragi sebagai “globul kecil berbentuk bola”, mereka menunjukkan bahwa fermentasi tidak akan terjadi jika udara steril atau oksigen murni dimasukkan tanpa kehadiran ragi. Temuan ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang ada di udara, bukan pembentukan spontan, yang bertanggung jawab atas fermentasi.[45]
Meskipun gagasan tentang generasi spontan telah mengalami kemunduran selama hampir satu abad, para pendukungnya tidak serta-merta meninggalkannya. Seperti yang ditulis oleh James Rennie pada tahun 1838, meskipun eksperimen Redi telah menunjukkan bukti kuat menentang generasi spontan, beberapa naturalis terkemuka seperti Johann Friedrich Blumenbach, Georges Cuvier, Bory de St. Vincent, dan Robert Brown tetap mendukung teori tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bukti empiris semakin kuat menentang generasi spontan, perdebatan ilmiah mengenai asal-usul kehidupan masih berlangsung.
Pasteur dan Tyndall

Eksperimen Louis Pasteur pada tahun 1859 secara luas dianggap sebagai pukulan akhir bagi teori generasi spontan. Dalam eksperimennya, ia menggunakan labu berleher angsa yang memungkinkan udara masuk tetapi mencegah partikel jatuh langsung ke dalam kaldu daging yang telah direbus. Hasilnya, kaldu tetap steril selama periode yang lama, tetapi ketika labu dimiringkan sehingga partikel dapat masuk, kaldu dengan cepat menjadi keruh, menunjukkan adanya pertumbuhan mikroba. Meskipun eksperimen ini memberikan bukti kuat, masih ada minoritas ilmuwan yang mempertanyakan hasilnya, terutama karena kesulitan eksperimental yang lebih kompleks daripada yang sering digambarkan dalam catatan populer.
John Tyndall, seorang dokter dan fisikawan Irlandia yang mengagumi Pasteur, melakukan investigasi lebih lanjut dan memberikan bukti tambahan yang membantah generasi spontan. Namun, ia menghadapi tantangan dalam memahami spora bakteri, yang dapat bertahan dalam kondisi mendidih. John Tyndall menghadapi kesulitan dalam mensterilkan kultur mikroba karena keberadaan spora bakteri, yang pada masanya belum sepenuhnya dipahami. Seperti Pasteur, ia mencoba mensterilkan sampelnya dengan cara merebusnya. Namun, beberapa jenis spora bakteri mampu bertahan meskipun sudah direbus, menyebabkan pertumbuhan mikroba tetap terjadi dalam beberapa percobaannya. Masalah ini kemudian mendorong pengembangan teknik sterilisasi yang lebih efektif, termasuk penggunaan autoklaf. Autoklaf menggunakan uap bertekanan tinggi untuk membunuh mikroorganisme, termasuk spora bakteri yang resisten terhadap panas. Metode ini akhirnya menjadi standar dalam praktik medis dan mikrobiologi untuk mensterilkan peralatan dan media kultur.
Pada tahun 1862, Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis memberikan perhatian khusus pada isu ini dengan menetapkan hadiah bagi “siapa saja yang dapat memberikan pencerahan baru mengenai pertanyaan tentang generasi spontan” melalui eksperimen yang dilakukan dengan baik. Mereka juga membentuk komisi untuk menilai pemenangnya.
Dalam perdebatan ini, Louis Pasteur dan ilmuwan lainnya menggunakan istilah biogenesis sebagai lawan dari generasi spontan, yang berarti bahwa kehidupan hanya berasal dari kehidupan lain. Konsep ini sejalan dengan doktrin Omnis cellula e cellula (“semua sel berasal dari sel lain”) yang dikemukakan oleh dokter Jerman Rudolf Virchow, yang pada gilirannya didasarkan pada penelitian Robert Remak. Setelah eksperimen Pasteur pada tahun 1859, istilah generasi spontan mulai ditinggalkan. Para eksperimental menggunakan berbagai istilah untuk mengkaji asal-usul kehidupan dari bahan tak hidup. Heterogenesis digunakan untuk menggambarkan pembentukan makhluk hidup dari materi organik yang sebelumnya hidup, seperti kaldu yang telah direbus. Ahli fisiologi Inggris, Henry Charlton Bastian, mengusulkan istilah archebiosis untuk merujuk pada kehidupan yang muncul dari bahan tak hidup.
Pada tahun 1870, Henry Charlton Bastian menciptakan istilah biogenesis untuk merujuk pada pembentukan kehidupan dari materi tak hidup, karena ia tidak menyukai unsur ketidakteraturan yang tersirat dalam istilah generasi spontan. Namun, tak lama kemudian, ahli biologi Inggris Thomas Henry Huxley mengusulkan istilah abiogenesis untuk proses tersebut dan menggunakan biogenesis secara khusus untuk merujuk pada pembentukan kehidupan dari kehidupan yang sudah ada. Sejak saat itu, istilah abiogenesis menjadi istilah utama dalam kajian ilmiah mengenai asal-usul kehidupan, sementara biogenesis digunakan untuk menegaskan prinsip bahwa kehidupan hanya muncul dari kehidupan sebelumnya.
Lihat juga
- Bugonia
- Mitos soang teritip
- Asal Usul kehidupan
Referensi
- ^ Bondeson, Jan (2018). "Spontaneous Generation". The Feejee Mermaid and Other Essays in Natural and Unnatural History. Ithaca, New York: Cornell University Press. hlm. 193–249. doi:10.7591/9781501722271-009. ISBN 978-1-5017-2227-1.
- ^ Ball, Philip (2016). "Man Made: A History of Synthetic Life". Distillations. 2 (1): 15–23.
- ^ Stillingfleet, Edward. (1702). Origines Sacrae. Cambridge University Press.
- ^ Bernal, J. D. (1967) [Reprinted work by A. I. Oparinoriginally published 1924; Moscow: The Moscow Worker]. The Origin of Life. The Weidenfeld and Nicolson Natural History. Translation of Oparin by Ann Synge. London: Weidenfeld & Nicolson. LCCN 67098482.
- ^ Woese, Carl R.; Fox, George E. (1977). "Phylogenetic structure of the prokaryotic domain: The primary kingdoms". Proceedings of the National Academy of Sciences. 74 (11): 5088–5090. doi:10.1073/pnas.74.11.5088. PMC 432104
. PMID 270744.
- ^ Wiener, Philip P., ed. (1973). "Spontaneous Generation". Dictionary of the History of Ideas. Vol. 4. New York: Charles Scribner's Sons. pp. 307–311.
- ^ McLaughlin, Peter (2006). "Spontaneous versus equivocal generation in early modern science". Annals of the History and Philosophy of Biology. 10: 79–88.
- ^ Guthrie, William Keith Chambers (1974). A history of Greek philosophy. Volume II, The Presocratic tradition from Parmenides to Democritus. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29421-8.
- ^ Seyffert, Oskar; Nettleship, Henry; Sandys, John Edwin (1894). A dictionary of classical antiquities; mythology, religion, literature & art;. University of California Libraries. London : W. Glaisher, ltd.
- ^ Curd, Patricia (1998). The Legacy of Parmenides: Eleatic Monism and Later Presocratic Thought. Princeton University Press. hlm. 77. ISBN 978-0-691-01182-0.
- ^ Kahn, Charles H. (1960). Anaximander and the origins of Greek cosmology. New York: Columbia University Press. hlm. 247. ISBN 0872202550.
- ^ Censorinus, De Die Natali, IV, 7
- ^ Osborn, Henry Fairfield (1894). From the Greeks to Darwin; an outline of the development of the evolution idea;. New York, London: Macmillan and Co.
- ^ Zirkle, Conway (1941). "Natural Selection before the "Origin of Species"". Proceedings of the American Philosophical Society. 84 (1): 71–123. ISSN 0003-049X.
- ^ Leroi, Armand Marie (2015). The Lagoon: How Aristotle Invented Science. London: Bloomsbury. ISBN 978-1-4088-3622-4.
- ^ Brack, André, ed. (1998). "Introduction". The Molecular Origins of Life. Cambridge University Press. p. 1. ISBN 978-0-521-56475-5.
- ^ Aristoteles (1910) [c. 343 BCE]. "Book V". History of Animals. translated by D'Arcy Wentworth Thompson. Oxford: Clarendon Press. ISBN 978-90-6186-973-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 May 2018. Diakses tanggal 7 January 2009.
- ^ Lehoux, Daryn (2017). Creatures Born of Mud and Slime: The Wonder and Complexity of Spontaneous Generation. Baltimore: John Hopkins University Press. hlm. 22. ISBN 978-1-4214-2381-4.
- ^ Lehoux, Daryn (2017). Creatures Born of Mud and Slime: The Wonder and Complexity of Spontaneous Generation. Baltimore: Johns Hopkins University Press. hlm. 23.
- ^ Lehoux, Daryn (2017). Creatures Born of Mud and Slime. Johns Hopkins University Press. hlm. 26–28.
- ^ Aristotle (1912) [c. 350 BCE]. "Book III". On the Generation of Animals. translated by Arthur Platt. Oxford: Clarendon Press. ISBN 90-04-09603-5.
- ^ Aristotle (1910) [c. 343 BCE]. "Book V". History of Animals. translated by D'Arcy Wentworth Thompson. Oxford: Clarendon Press. ISBN 978-90-6186-973-3.
- ^ Athenaeus of Naucratis. "Book VII". In Yonge, C. D. (ed.). The deipnosophists, or, Banquet of the learned of Athenæus. University of Wisconsin Digital Collection. Vol. I. London: Henry G. Bohn
- ^ Fry, Iris (2000). "Chapter 2: Spontaneous Generation – Ups and Downs". The Emergence of Life on Earth. Rutgers University Press. ISBN 978-0-8135-2740-6.
- ^ Peringatan pengutipan:
<ref>
Pratayang tanda dengan namaGerald dari Wales
tidak dapat ditampilkan karena didefinisikan di luar bagian saat ini atau tidak didefinisikan sama sekali. - ^ Giraldus Cambrensis (1188). Topographia Hiberniae. Humanities Press. ISBN 0-85105-386-6.
- ^ Lankester, Edwin Ray (1970) [1915]. "XIV. The History of the Barnacle and the Goose". Diversions of a Naturalist (illustrated ed.). Ayer Publishing. pp. 117–128. ISBN 978-0-8369-1471-9.
- ^ Führer, Markus (2022). Zalta, Edward N., ed. Albert the Great (edisi ke-Summer 2022). Metaphysics Research Lab, Stanford University.
- ^ Pasnau, Robert (2024). Zalta, Edward N.; Nodelman, Uri, ed. Thomas Aquinas (edisi ke-Winter 2024). Metaphysics Research Lab, Stanford University.
- ^ Walton, Izaak (1903) [1653]. "XIII. Observations of the eel, and other fish that want for scales, and how to fish for them". The Compleat Angler or the Contemplative Man's Recreation. George Bell & Sons. ISBN 0-929309-00-6.
- ^ Osler, Margaret J.; Westfall, Richard S., ed. (2002). Religion, Science, and Worldview: Essays in Honor of Richard S. Westfall (edisi ke-1. paperback ed). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 230. ISBN 978-0-521-52493-3.
- ^ a b c d McCartney, Eugene S. (1920). "Spontaneous Generation and Kindred Notion in Antiquity". Transactions of the American Philological Association. 51: 110–115.
- ^ Aristotle (1910) [c. 343 BCE]. "Book IV". The History of Animals. Translated by D'Arcy Wentworth Thompson. Oxford: Clarendon Press. ISBN 90-6186-973-0.
- ^ Gaius Plinius Secundus (1855) [c. 77]. "74. (50.) – The generation of fishes". In Bostock, John; Riley, Henry Thomas (eds.). Natural History. Vol. Book IX. The natural history of fishes
- ^ Marcus Vitruvius Pollio (1826) [c. 25 BCE]. "Part 4". On Architecture (de Architectura). Vol. Book VI. Translated by Joseph Gwilt. electronic format by Bill Thayer. London: Priestley and Weale
- ^ Pasteur, Louis (7 April 1864). "On Spontaneous Generation" (Address delivered by Louis Pasteur at the "Sorbonne Scientific Soirée").
- ^ Fry, Iris (2000). "Chapter 2: Spontaneous Generation – Ups and Downs". The Emergence of Life on Earth. Rutgers University Press. ISBN 978-0-8135-2740-6.
- ^ Bayon, H. P. (1947). "William Harvey (1578–1657): William Harvey (1578–1657): His Application of Biological Experiment, Clinical Observation, and Comparative Anatomy to the Problems of Generation". Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. II (1): 51–96. doi:10.1093/jhmas/II.1.51. JSTOR https://www.jstor.org/stable/24619518.
- ^ a b c Levine, Russell; Evers, Chris (1999). "The Slow Death of Spontaneous Generation (1668–1859)". Washington, D.C.: National Health Museum.
- ^ Redi, Francesco (1909) [1669]. Experiments on the Generation of Insects. Translated by Mab Bigelow. Chicago: Open Court.
- ^ Fry, Iris (2000). The emergence of life on Earth: a historical and scientific overview. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. hlm. 27. ISBN 978-0-8135-2739-0.
- ^ "Hutton, Charles, 1737–1823; Shaw, George, 1751–1813; Pearson, Richard, 1765–1836. The Extract of a Letter written by Mr. JOHN RAY, to the Editor, from Middleton, July 3, 1671, concerning Spontaneous Generation;... Number 73, p. 2219". The Philosophical Transactions of the Royal Society of London, from Their Commencement in 1665: 617–618. 1800.
- ^ Agrios, George N. (2005). Plant pathology (edisi ke-5th ed). Amsterdam ; Boston: Elsevier Academic Press. hlm. 17. ISBN 978-0-12-044565-3.
- ^ Priestley, Joseph (1809). "Observations and Experiments relating to equivocal, or spontaneous, Generation". Transactions of the American Philosophical Society. VI: 119–129.
- ^ Springer, Alfred (13 October 1892). "The Micro-organisms of the Soil". Nature. 46 (1198): 576–579.